Sabtu, 19 Januari 2019

[CERPEN] DIA, SAMUDRA.


DIA, SAMUDRA
‘Hidup sebagaimana kau harus hidup.’
***

Namanya Zeiro Samudra. Tak usah memikirkan arti dibalik namanya. Cukup panggil dia Sam. Seperti namanya, Samudra itu semisterius samudra. Tak ada yang tahu seberapa luas pengetahuannya, sedalam apa pemikirannya. Yang hanya orang tahu, Samudra yang tenang ketika di dalam kelas, yang selalu tersenyum ketika selesai menyampaikan pendapatnya dalam diskusi, ataupun Samudra yang datang paling awal.  Hanya sebatas itu. Bagaimana Samudra di luar tak ada yang tahu. Dan sepertinya Samudra juga tak ada niat untuk memberi tahu.
Aku termasuk di dalamnya, orang-orang yang hanya mengenal Samudra yang ada di dalam kelas. Itupun aku hanya sebatas mengenalnya, meskipun kita selalu berada di kelas yang sama dari semester satu. Mungkin bisa dihitung interaksiku dengannya. Selebihnya aku hanya mengamatinya.
“Sam, coba lo jelasin ulang bagian ini dong.” Meskipun bukan namaku yang dipanggil, aku ikut menoleh. Dan yang terlihat adalah pemandangan biasa ketika jam mata kuliah sudah selesai, Samudra dengan kelas private-nya. Ya, dia dengan permintaan menjelaskan ulang dari beberapa teman kelas. Seperti sekarang, dia sedang duduk di dekat Dea menjelaskan ulang tentang materi yang baru berakhir jamnya.
“Sam, sorry kayaknya kelompokkan kita harus diundur deh. Gue harus ke sekre himpunan.” Sekarang gantian Aldo yang berbicara dengan Samudra.
“Santai, Do.” Itu jawaban Samudra yang ku dengar. Aku masih duduk di kursiku, masih mengamati dia yang merapikan barang-barangnya.
“Sam, makalahnya Bu Nia udah? Kalau udah, nanti kirim ke gue ya, nanti biar gue yang finishing.” Kata Reza sebelum keluar kelas. Aku melihat Samudra hanya mengangkat jempolnya.
Aku masih tak bergerak dari tempat dudukku. Meskipun satu persatu teman kelasku sudah keluar kelas dengan urusannya masing-masing. Bahkan sampai Samudra juga meninggalkan kelas, aku belum beranjak. Dan sekarang, kelas benar-benar kosong. Tinggal aku sendiri.
Sebenarnya, tak ada yang aneh dengan pemandangan tadi. Dengan nama ‘Sam’ yang tak henti-hentinya selalu disebut. Tak ada yang aneh, mungkin saja aku yang kurang kerjaan. Tapi, entah kenapa menurutku menarik saja memperhatikan seorang Samudra dengan dunianya. Satu tahun berada di kelas yang sama dengannya, membuatku mengerti bahwa Samudra seperti pusat kehidupan di kelasku. Eksistensinya selalu menjadi pembicaraan. Sosoknya selalu dicari di setiap pembahasan. Bahkan sampai di semester tiga ini, aku selalu membayangkan bagaimana jika aku seperti Samudra. Mungkin kehidupan kuliahku lebih indah. Punya banyak teman, diperhatikan, menjadi orang yang selalu dibutuhkan, dan mungkin menjadi orang yang dianggap penting. Itulah salah satu alasan, aku selalu suka memperhatikan hiruk pikuk kehidupan Samudra.
“Emh..maaf, Kak. Kelasnya mau dipakai.” Sebuah suara menyadarkanku. Adik tingkat. Aku hanya tersenyum tipis sebagai permintaan maaf dan kemudian meninggalkan kelas.
Sudah tidak ada jam kuliah lagi untuk hari ini. Tapi rasanya aku masih malas untuk jalan pulang ke indekos. Akhirnya ku putuskan berjalan ke cafetaria fakultasku, tidak ada salahnya membeli air minum dan beberapa cemilan sambil mengumpulkan niat untuk pulang.
Selesainya urusanku di cafetaria, aku menyapukan pandanganku ke deretan meja di depan cafetaria mencari tempat duduk. Tak perlu waktu lama, pandanganku menemukan satu spot kosong. Aku segera melangkah ke tempat itu.
“Maaf, boleh duduk di sini?” Sebuah suara menginterupsi kegiatanku di dunia maya. Aku segera mendongak.
“Bo..leh.” Jawabku tersendat ketika mengetahui siapa yang meminta ijin tadi. Samudra. Sosok yang ku bicarakan tadi.
“Eh, Kalila?” Dia sepertinya juga terkejut. Oh, dia mengetahui namaku.
“Hai, Sam.” Aku membalas sapaannya sebiasa mungkin.
Samudra langsung mengambil tempat duduk di depanku. Tanpa suara, dia mengeluarkan barang-baranganya. Aku bergegas kembali ke duniaku.  Karena aku yakin, kita hanya akan menjadi teman semeja yang tanpa ada percakapan. Ku biarkan hening yang memegang kendali.
“Kamu sendiri?” Tak kusangka Samudra memecah keheningan.
“Hah? Iya.” Jawabku sedikit terkejut. Dia tertawa pelan.
“Gak sama yang lain?” Dia melanjutkan pertanyaannya. Bahkan tanpa ku sadar, dia sedikit menggeser laptopnya.
“Yang lain? Temen?” Dia mengangguk. “Oh, nggak.” Jawabku singkat tanpa berniat menjelaskan kenapa aku tidak bersama orang-orang dengan predikat teman. Dan sepertinya Samudra juga tidak mempermasalahkan jawabanku.
“Kamu sendiri, tumben sendirian?” Aku membalik pertanyaannya. Jujur, aku sedkit terkejut dia datang sendiri, padahal di kelas dia selalu dikelilingi banyak orang.
“Tumben? Aku selalu sendiri.” Jawabnya santai.
“Kenapa?” Sambarku cepat. Aku sendiri kaget dengan apa yang aku ucapkan. Terlalu kepo-kah?
“Ada yang salah?” Bukannya penjelasan yang ku dengar, justru pertanyaan.
“Tidak, tidak ada yang salah. Aku kira kamu banyak teman dengan sifat yang kau punya.” Jawabku pelan.
“Sifat yang ku punya?”
“Ya. Kamu di sukai banyak orang. Teman-teman sekelas contohnya. Mereka akan selalu berbicara tentangmu.”
“Haha.” Dia lagi-lagi tertawa. Ada yang salah dengan yang kuucapkan? “Kamu ini lucu sekali. Bagaimana bisa menyimpulkan dengan mereka berbicara tentangku, lantas mereka suka padaku?”
“Ya, bukannya memang seperti itu?”
“Tidak semua. Tidak semua orang membicarakan seseorang karena mereka menyukai orang itu. Mungkin justru sebaliknya.”
“Tapi mereka selalu mencarimu. Seperti kamu pusat semua perhatian mereka.”
“Kamu hanya melihat satu sisi. Sisi yang kamu lihat mungkin memang seperti itu, tapi sisi yang lain? Ini masalah kebutuhan. Ketika dibutuhkan ya dicari, ketika tak dibutuhkan ya dilupakan. Kalau menurutmu menjadi pusat perhatian adalah kebanggan, maka aku tak sependapat. Menjadi pusat perhatian sama saja kamu harus hidup sesuai ekspekatasi mereka. Dan dirimu bisa menjadi bukan dirimu sebenarnya. Dan itu sangat melelahkan.” Mendengar Samudra berbicara panjang lebar bukan hanya sekali ini aku dengar, bahkan ketika presentasi di depan kelas bisa lebih panjang. Tapi, berbicara seperti itu, aku baru mendengarnya pertama kali. Dan kau seperti berbicara dengan Samudra yang lain.
Samudra yang aku kenal dan yang orang lain kenal adalah Samudra yang selalu tersenyum, yang selalu tenang, dan tak pernah mengatakan ‘tidak’. Tapi, Samudra yang di depanku sekarang, Samudra yang kesepian, yang kelelahan, dan membutuhkan pertolongan.
‘Lil, temenin Samudra. Dia butuh temen.’ Tiba-tiba ucapan sepupuku yang juga kebetulan temannya Samudra, Andra, melintas di kepalaku. Beberapa bulan yang lalu ketika Andra bertanya tentang apa aku sekelas dengan Samudra, dia berpesan itu.
‘Dia sudah punya teman banyak, Ndra. Kamu gak tahu seberapa terkenalnya dia di kelasku?’ Bukannya menolak permintaan Andra, tapi menurutku Samudra tak butuh teman lagi, apalagi orang sepertiku.
‘Bukan teman yang hanya tahu bagaimana Samudra secara luar, tapi yang paham kalau Samudra itu ya Samudra.’ Ucap Andra dengan serius. Dan aku tahu, Andra berbicara serius hanya ketika hal itu menyangkut orang-orang pentingnya.
Beberapa bulan lalu, aku tak begitu paham apa yang dimaksud Andra tentang ‘Samudra itu ya Samudra’. Karena menurutku Samudra ya sosok yang ku kenal karena kita satu kelas sejak semester satu. Samudra yang juga angakatanku kenal. Tidak ada Samudra yang lain. Tapi hari ini, aku menemukan Samudra yang dimaksudkan Andra. Samudra yang butuh teman.
“Sam?” Panggilku pelan. Membuatnya mengalihkan fokus dari laptopnya.
“Ya?”
“Kalau kamu emang perlu marah ya marah, kalau kamu perlu nangis ya nangis, kalau kamu perlu ngeluh ya ngeluh. Gak ada yang ngelarang buat kamu ngelakuin itu, karena itu manusiawi. Nggak ada salahnya kamu bilang ‘tidak’ buat mereka. Gak ada salahnya kamu sedikit melenceng dari ekspektasi mereka. Kalau kamu takut mereka pergi setelah tahu bagaimana sebenarnya kamu, ya biarkan. Itu artinya mereka tidak bisa menerima kamu yang sebenarnya. Kalau katamu tadi menjadi pusat perhatian itu melelahkan, gak ada salahnya istrahat. Hidup sebagai Samudra, Sam. Jangan jadi orang lain.” Kalimat itu mengalir begitu saja dari mulutku tanpa kompromi. Aku siap menerima apapun respon dari Samudra. Bahkan ketika nanti dia memutuskan untuk memasukkanku dalam blackist-nya aku terima, yang penting aku sudah menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan.
Samudra hanya diam. Dia masih menatap lurus padaku. Raut wajahnya tak terbaca. Fokusku juga terkunci padanya. Dia seperti punya magnet tersendiri. Waktu terus berlalu. Dan Samudra belum juga memberikan responnya.
“Terima kasih.” Kalimat itu yang keluar dari mulutnya, ketika aku hampir putus asa untuk menunggu responnya. “Terima kasih sudah mau mengertiku. Terima kasih sudah bisa membaca bagaimana Samudra sebenarnya.” Lanjutnya dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Meski aku setiap hari melihatnya dia tersenyum, tapi aku sadar senyum yang saat ini dia tunjukan berbeda, lebih nyata. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Tiba-tiba dia mengulurkan tangan, dengan ragu-ragu aku membalas ulurannya.
“Kalila, bisakah sekarang kita berteman?” Tanyanya ketika tangan kita sudah saling menjabat. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Karena jujur, aku seperti seketika lupa bagaimana merangkai kalimat.
Kemudian tawa kita pecah bersama tangan kita yang terurai. Aku bisa melihat Samudra tertawa tanpa beban. Seperti inilah seharusnya dia hidup. Dan aku berharap, aku bisa terus melihat dia yang seperti ini. Bahagia, Sam. Jangan lagi tenggelam dalam samudra. Hidup sebagaimana kau harus hidup, Sam.
---Triana Febri---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar