DIA, SAMUDRA
‘Hidup sebagaimana kau
harus hidup.’
***
Namanya Zeiro Samudra.
Tak usah memikirkan arti dibalik namanya. Cukup panggil dia Sam. Seperti
namanya, Samudra itu semisterius
samudra. Tak ada yang tahu seberapa luas pengetahuannya, sedalam apa pemikirannya.
Yang hanya orang tahu, Samudra yang tenang ketika di dalam kelas, yang selalu
tersenyum ketika selesai menyampaikan pendapatnya dalam diskusi, ataupun
Samudra yang datang paling awal. Hanya
sebatas itu. Bagaimana Samudra di luar tak ada yang tahu. Dan sepertinya
Samudra juga tak ada niat untuk memberi tahu.
Aku termasuk di dalamnya,
orang-orang yang hanya mengenal Samudra yang ada di dalam kelas. Itupun aku
hanya sebatas mengenalnya, meskipun kita selalu berada di kelas yang sama dari
semester satu. Mungkin bisa dihitung interaksiku dengannya. Selebihnya aku
hanya mengamatinya.
“Sam, coba lo jelasin
ulang bagian ini dong.” Meskipun bukan namaku yang dipanggil, aku ikut menoleh.
Dan yang terlihat adalah pemandangan biasa ketika jam mata kuliah sudah
selesai, Samudra dengan kelas private-nya.
Ya, dia dengan permintaan menjelaskan ulang dari beberapa teman kelas. Seperti
sekarang, dia sedang duduk di dekat Dea menjelaskan ulang tentang materi yang
baru berakhir jamnya.
“Sam, sorry kayaknya kelompokkan kita harus
diundur deh. Gue harus ke sekre himpunan.” Sekarang gantian Aldo yang berbicara
dengan Samudra.
“Santai, Do.” Itu jawaban
Samudra yang ku dengar. Aku masih duduk di kursiku, masih mengamati dia yang
merapikan barang-barangnya.
“Sam, makalahnya Bu Nia
udah? Kalau udah, nanti kirim ke gue ya, nanti biar gue yang finishing.” Kata Reza sebelum keluar
kelas. Aku melihat Samudra hanya mengangkat jempolnya.
Aku masih tak bergerak
dari tempat dudukku. Meskipun satu persatu teman kelasku sudah keluar kelas
dengan urusannya masing-masing. Bahkan sampai Samudra juga meninggalkan kelas,
aku belum beranjak. Dan sekarang, kelas benar-benar kosong. Tinggal aku
sendiri.
Sebenarnya, tak ada yang
aneh dengan pemandangan tadi. Dengan nama ‘Sam’ yang tak henti-hentinya selalu
disebut. Tak ada yang aneh, mungkin saja aku yang kurang kerjaan. Tapi, entah
kenapa menurutku menarik saja memperhatikan seorang Samudra dengan dunianya.
Satu tahun berada di kelas yang sama dengannya, membuatku mengerti bahwa Samudra
seperti pusat kehidupan di kelasku. Eksistensinya selalu menjadi pembicaraan.
Sosoknya selalu dicari di setiap pembahasan. Bahkan sampai di semester tiga
ini, aku selalu membayangkan bagaimana jika aku seperti Samudra. Mungkin
kehidupan kuliahku lebih indah. Punya banyak teman, diperhatikan, menjadi orang
yang selalu dibutuhkan, dan mungkin menjadi orang yang dianggap penting. Itulah
salah satu alasan, aku selalu suka memperhatikan hiruk pikuk kehidupan Samudra.
“Emh..maaf, Kak. Kelasnya
mau dipakai.” Sebuah suara menyadarkanku. Adik tingkat. Aku hanya tersenyum
tipis sebagai permintaan maaf dan kemudian meninggalkan kelas.
Sudah tidak ada jam
kuliah lagi untuk hari ini. Tapi rasanya aku masih malas untuk jalan pulang ke
indekos. Akhirnya ku putuskan berjalan ke cafetaria
fakultasku, tidak ada salahnya membeli air minum dan beberapa cemilan sambil
mengumpulkan niat untuk pulang.
Selesainya urusanku di cafetaria, aku menyapukan pandanganku ke
deretan meja di depan cafetaria mencari
tempat duduk. Tak perlu waktu lama, pandanganku menemukan satu spot kosong. Aku
segera melangkah ke tempat itu.
“Maaf, boleh duduk di
sini?” Sebuah suara menginterupsi kegiatanku di dunia maya. Aku segera
mendongak.
“Bo..leh.” Jawabku
tersendat ketika mengetahui siapa yang meminta ijin tadi. Samudra. Sosok yang
ku bicarakan tadi.
“Eh, Kalila?” Dia
sepertinya juga terkejut. Oh, dia mengetahui namaku.
“Hai, Sam.” Aku membalas
sapaannya sebiasa mungkin.
Samudra langsung
mengambil tempat duduk di depanku. Tanpa suara, dia mengeluarkan
barang-baranganya. Aku bergegas kembali ke duniaku. Karena aku yakin, kita hanya akan menjadi
teman semeja yang tanpa ada percakapan. Ku biarkan hening yang memegang
kendali.
“Kamu sendiri?” Tak
kusangka Samudra memecah keheningan.
“Hah? Iya.” Jawabku sedikit
terkejut. Dia tertawa pelan.
“Gak sama yang lain?” Dia
melanjutkan pertanyaannya. Bahkan tanpa ku sadar, dia sedikit menggeser
laptopnya.
“Yang lain? Temen?” Dia
mengangguk. “Oh, nggak.” Jawabku singkat tanpa berniat menjelaskan kenapa aku
tidak bersama orang-orang dengan predikat teman. Dan sepertinya Samudra juga
tidak mempermasalahkan jawabanku.
“Kamu sendiri, tumben
sendirian?” Aku membalik pertanyaannya. Jujur, aku sedkit terkejut dia datang
sendiri, padahal di kelas dia selalu dikelilingi banyak orang.
“Tumben? Aku selalu
sendiri.” Jawabnya santai.
“Kenapa?” Sambarku cepat.
Aku sendiri kaget dengan apa yang aku ucapkan. Terlalu kepo-kah?
“Ada yang salah?”
Bukannya penjelasan yang ku dengar, justru pertanyaan.
“Tidak, tidak ada yang
salah. Aku kira kamu banyak teman dengan sifat yang kau punya.” Jawabku pelan.
“Sifat yang ku punya?”
“Ya. Kamu di sukai banyak
orang. Teman-teman sekelas contohnya. Mereka akan selalu berbicara tentangmu.”
“Haha.” Dia lagi-lagi
tertawa. Ada yang salah dengan yang kuucapkan? “Kamu ini lucu sekali. Bagaimana
bisa menyimpulkan dengan mereka berbicara tentangku, lantas mereka suka
padaku?”
“Ya, bukannya memang
seperti itu?”
“Tidak semua. Tidak semua
orang membicarakan seseorang karena mereka menyukai orang itu. Mungkin justru
sebaliknya.”
“Tapi mereka selalu
mencarimu. Seperti kamu pusat semua perhatian mereka.”
“Kamu hanya melihat satu
sisi. Sisi yang kamu lihat mungkin memang seperti itu, tapi sisi yang lain? Ini
masalah kebutuhan. Ketika dibutuhkan ya dicari, ketika tak dibutuhkan ya
dilupakan. Kalau menurutmu menjadi pusat perhatian adalah kebanggan, maka aku
tak sependapat. Menjadi pusat perhatian sama saja kamu harus hidup sesuai
ekspekatasi mereka. Dan dirimu bisa menjadi bukan dirimu sebenarnya. Dan itu
sangat melelahkan.” Mendengar Samudra berbicara panjang lebar bukan hanya
sekali ini aku dengar, bahkan ketika presentasi di depan kelas bisa lebih
panjang. Tapi, berbicara seperti itu, aku baru mendengarnya pertama kali. Dan
kau seperti berbicara dengan Samudra yang lain.
Samudra yang aku kenal
dan yang orang lain kenal adalah Samudra yang selalu tersenyum, yang selalu
tenang, dan tak pernah mengatakan ‘tidak’. Tapi, Samudra yang di depanku
sekarang, Samudra yang kesepian, yang kelelahan, dan membutuhkan pertolongan.
‘Lil,
temenin Samudra. Dia butuh temen.’ Tiba-tiba ucapan
sepupuku yang juga kebetulan temannya Samudra, Andra, melintas di kepalaku.
Beberapa bulan yang lalu ketika Andra bertanya tentang apa aku sekelas dengan
Samudra, dia berpesan itu.
‘Dia
sudah punya teman banyak, Ndra. Kamu gak tahu seberapa terkenalnya dia di
kelasku?’ Bukannya menolak permintaan Andra, tapi menurutku Samudra tak butuh
teman lagi, apalagi orang sepertiku.
‘Bukan
teman yang hanya tahu bagaimana Samudra secara luar, tapi yang paham kalau
Samudra itu ya Samudra.’ Ucap Andra dengan serius. Dan aku tahu, Andra
berbicara serius hanya ketika hal itu menyangkut orang-orang pentingnya.
Beberapa bulan lalu, aku
tak begitu paham apa yang dimaksud Andra tentang ‘Samudra itu ya Samudra’.
Karena menurutku Samudra ya sosok yang ku kenal karena kita satu kelas sejak
semester satu. Samudra yang juga angakatanku kenal. Tidak ada Samudra yang
lain. Tapi hari ini, aku menemukan Samudra yang dimaksudkan Andra. Samudra yang
butuh teman.
“Sam?” Panggilku pelan.
Membuatnya mengalihkan fokus dari laptopnya.
“Ya?”
“Kalau kamu emang perlu
marah ya marah, kalau kamu perlu nangis ya nangis, kalau kamu perlu ngeluh ya
ngeluh. Gak ada yang ngelarang buat kamu ngelakuin itu, karena itu manusiawi.
Nggak ada salahnya kamu bilang ‘tidak’ buat mereka. Gak ada salahnya kamu
sedikit melenceng dari ekspektasi mereka. Kalau kamu takut mereka pergi setelah
tahu bagaimana sebenarnya kamu, ya biarkan. Itu artinya mereka tidak bisa
menerima kamu yang sebenarnya. Kalau katamu tadi menjadi pusat perhatian itu
melelahkan, gak ada salahnya istrahat. Hidup sebagai Samudra, Sam. Jangan jadi
orang lain.” Kalimat itu mengalir begitu saja dari mulutku tanpa kompromi. Aku
siap menerima apapun respon dari Samudra. Bahkan ketika nanti dia memutuskan
untuk memasukkanku dalam blackist-nya
aku terima, yang penting aku sudah menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan.
Samudra hanya diam. Dia
masih menatap lurus padaku. Raut wajahnya tak terbaca. Fokusku juga terkunci
padanya. Dia seperti punya magnet tersendiri. Waktu terus berlalu. Dan Samudra
belum juga memberikan responnya.
“Terima kasih.” Kalimat
itu yang keluar dari mulutnya, ketika aku hampir putus asa untuk menunggu
responnya. “Terima kasih sudah mau mengertiku. Terima kasih sudah bisa membaca
bagaimana Samudra sebenarnya.” Lanjutnya dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Meski aku setiap hari melihatnya dia tersenyum, tapi aku sadar senyum yang saat
ini dia tunjukan berbeda, lebih nyata. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.
Tiba-tiba dia mengulurkan tangan, dengan ragu-ragu aku membalas ulurannya.
“Kalila, bisakah sekarang
kita berteman?” Tanyanya ketika tangan kita sudah saling menjabat. Aku hanya
bisa mengangguk pelan. Karena jujur, aku seperti seketika lupa bagaimana
merangkai kalimat.
Kemudian tawa kita pecah
bersama tangan kita yang terurai. Aku bisa melihat Samudra tertawa tanpa beban.
Seperti inilah seharusnya dia hidup. Dan aku berharap, aku bisa terus melihat
dia yang seperti ini. Bahagia, Sam. Jangan lagi tenggelam dalam samudra. Hidup
sebagaimana kau harus hidup, Sam.
---Triana Febri---

Tidak ada komentar:
Posting Komentar