BERTAHAN
“Gak usah takut gimana
lo bakal ngejalanin semua nantinya, intinya nikmatin aja”
***
Apa
hal yang paling menyebalkan dari hubungan jarak jauh? Semua hal menjadi tak
pasti. Kau akan akrab dengan ketakutan-ketakutan, bahkan kau akan lebih
berteman dengan dugaan tak beralasan daripada logika yang masuk akal. Hubungan
jarak jauh memang seperti itu, menyebalkan dan menakutkan secara bersamaan.
Kenapa
aku bisa seyakin itu? Karena aku mengalaminya saat ini. Bukan berjarak dengan
seseorang yang biasa disebut pacar, tapi lebih dari itu. Aku berjarak dengan
rumah, dengan keluarga, dengan semua hal yang tak pernah jauh dariku
sebelumnya. Bukannya manja, aku hanya benci untuk mengira-ira. Dan berjarak
memaksaku harus bertemu hal yang paling ku benci.
Sekarang
di sinilah aku. Berjarak ratusan kilometer dari rumah, demi suatu hal yang tak
bisa ku abaikan, pendidikan. Kemarin, bahkan hari ini, pikiranku terlalu bising
dengan ketakutan-ketakutan yang berlalu-lalang. Bagaimana keadaan rumah?
Bagaimana kalau aku tidak bisa bertahan di sini? Apakah nanti aku punya teman?
Apakah Mama baik-baik saja di sana? Rasanya aku ingin kembali mengemas
barangku, membeli tiket dan pulang. Atau mengembalikan waktu ketika aku belum
mengambil keputusan ini.
Seperti
merasakan kegundahanku, nama Mama muncul di layar ponselku, panggilan masuk.
Tanpa berpikir dua kali, aku langsung menerimanya.
“Halo,
Ma?”
“Halo, Dim.”
“Ada
apa, Ma?”
“Nggak ada apa-apa kok. Mama
tiba-tiba saja pengen telpon kamu. Kamu nggak pa-pa kan?”
“Nggak
pa-pa. Dimas baik-baik saja kok, Ma.” Ya, secara fisik. Secara pikiran, aku
tidak baik-baik saja.
“Syukurlah.”
Ada nada lega di suara Mama. “Kamu hari
ini ngapain aja, Dim?” Pertanyaan rutin Mama yang pertama menyambutku
ketika aku pulang sekolah.
“Hari
ini tadi kumpul sama temen-temen kelompok ospek sampai jam sebelasan. Dan
sekarang Dimas juga udah ada di kos.”
“Dimas udah punya temen di sana?”
“Temen?
Belum ada, Ma.”
“Ya udah, gak pa-pa. Nanti pasti
Dimas punya temen banyak.”
“Semoga.”
Aku berkata lirih. Entah Mama mendengar apa tidak, yang jelas hening mengambil
alih pembicaraan.
Suara
Mama tak lagi terdengar untuk beberapa menit, sampai ku sempatkan mengecek status
panggilan takutnya sudah terputus atau baterai ponselku habis. Tapi panggilan
masih berlangsung. Kemudian terdengar samar suara-suara di seberang. Ah, Mama
mungkin sedang ada urusan lain.
Ketika
aku masih menunggu atensi Mama kembali padaku, pandanganku menangkap seseorang
yang berjalan melewati pagar kosan. Ah, mungkin juga penghuni kosan ini. Ketika
dia semakin dekat dengan teras, tak sengaja pandangan kami bertemu. Aku hanya
mengangguk seperlunya saja, dia hanya tersenyum kemudian berlalu masuk.
“Halo, Dim?”
Suara Mama kembali terdengar di seberang.
“Iya,
Ma?”
“Maaf ya, tadi Tante Dewi datang,
kamu Mama tinggal sebentar. Untung gak kamu putus panggilannya.”
“Gak
papa kok, Ma.”
“Ya udah, kamu hati-hati ya di sana?
Mama gak mau maksa kamu harus gimana-gimana. Cukup jadi Dimas yang baik saja.
Karena selalu ada tempat untuk orang baik.” Pesan Mama.
“Iya,
Ma. Doakan Dimas.” Ucapku. Tak lama setelah itu, tak ada lagi suara Mama yang
terdengar. Panggilan berakhir.
Aku
masih belum beranjak dari tempatku. Ponsel masih digenggamanku. Fokusku masih
pada daftar panggilan terakhir. Entah aku memang masih rindu pada Mama, atau
aku hanya butuh teman untuk bicara. Yang jelas aku sangat berharap ada panggilan
masuk dari Mama, untuk sekali lagi.
“Hai,
penghuni baru ya?” Sebuah suara mengalihkan pandanganku dari ponsel. Ternyata
orang yang masuk kosan tadi. Sekarang dia sudah dengan kaos oblong dengan
celana selututnya, kas anak kosan.
“Eh,
iya, Kak. Aldimas Junario, panggil aja Dimas.” Aku memperkenalkan diri.
“Gue
Faisal. Maba?”
“Iya.
Sastra Indonesia. Kakak?”
“Gue
mahasiswa tua, Sosial Politik. Tapi santai aja kalau sama gue.” Aku hanya
mengangguk-angguk. Bingung mau memulai obrolan gimana.
“Tadi
telpon dari orang rumah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
“Homesick?” Tebak Kak Faisal.
“Gak
tau. Mungkin?” Jawabku ragu, karena jujur aku gak tau yang sedang aku rasakan
ini apa.
“Kalau
gue suruh cerita, pasti aneh banget rasanya, Dim. Secara kita baru aja kenal.
Jadi, kalau lo ada yang mau ditanyakan, gak papa. Mungkin gue bisa jawab
sebagai orang yang udah merantau lebih lama daripada lo.” Kak Faisal menawarkan
diri. Aku belum meresponnya.
“Tapi
kalau gak mau gak papa sih. Wajar kok, kalau lo ragu sama orang baru. Maaf ya,
gue yang sok akrab.” Ucapnya mengetahui keraguanku. Sebenarnya, selama dua hari
aku berada di kos ini, Kak Faisal orang pertama yang mengajakku ngobrol. Dan selama
beberapa menit kita duduk bersama ini, aku rasa dia orang baik. Bukankah aku
juga butuh teman di sini?
“Kak?”
Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Ya,
Dim?”
“Gimana
Kakak bisa bertahan sampai saat ini? Ya maksudnya, jauh dari rumah, harus
ketemu orang-orang baru, lingkungan baru, dan mungkin tekanan-tekanan yang
lebih berat.” Tanyaku hati-hati.
“Susah
buat jawab pertanyaan lo, Dim. Gue sendiri juga gak tau, kenapa gue bisa
bertahan sampai saat ini. Gue hanya mengikuti alur. Kuliah, organisasi, ngumpul
sama temen, dan pulang ke rumah ketika akhir pekan. Seperti itu terus sampai
saat ini.” Jawab Kak Faisal santai.
“Kakak
juga ngerasain homesick?”
“Haha.
Gue gak kaya lo yang selalu ditelpon sama orang rumah. Bahkan sampai saat ini,
bisa dihitung pakai jari berapa kali orang rumah nanyain kabar gue di sini.”
“Maaf,
Kak.”
“Gak
usah minta maaf, lo gak ada salah kok.” Jawab Kak Faisal sedikit tersenyum.
“Dim, lo udah ngambil keputusan buat mencoba hidup mandiri di sini, dan gue
harap lo bisa ngejalanin keputusan lo sampai akhir nanti. Gak usah takut gimana
lo bakal ngejalanin semua nantinya, intinya nikmatin aja. Homesick itu wajar, gue gak bakal nganggep lo anak manja cuma
karena baru dua hari lo di sini dan udah homesick.
Orang tua lo ngijinin lo buat pergi sampai sini, karena mereka percaya lo bisa
bertahan di sini.” Kita baru saja kenal, tapi entah kenapa Kak Faisal seperti
tau apa yang aku pikirkan dari pertama aku menginjakan kaki di tempat ini.
“Aku
cuma…takut, Kak. Bagaimana kalau nanti lingkungan baruku gak nerima aku?
Bagaimana kalau nanti aku gak punya temen di sini? Dan mungkin, bagaimana kalau
pada akhirnya nanti aku gak bisa bertahan sampai sejauh Kakak saat ini?”
“Kenapa
lo harus takut sama semua itu? Itu hanya ketakutan-ketakutan lo yang gak beralasan,
Dim. Denger, kalau nanti lingkungan baru lo gak mau nerima lo, berarti lo harus
bisa nyiptain lingkungan sendiri, yang di dalamnya orang-orang yang mau nerima
lo. Ketika nanti gak ada orang yang mau nyamperin lo, berarti lo yang harus
pertama nyamperin mereka. Itu hukum alam, Dim.”
“Aku
bingung, Kak. Aku gak tau harus mulai dari mana.”
“Belajar.
Pelan-pelan aja, Dim. Siapkan semua amunisi yang lo punya. Karena mungkin nanti
lo bakal ngadepin banyak orang yang kadang gak lo bayangin sebelumnya.” Aku hanya
mendengarkannya. Setelah semua yang dikatakan Kak Faisal, sedikit memberi
gambaran apa yang harus aku lakukan ke depannya.
“Udahlah,
Dim, gak usah dipikir sampai segitunya. Nikmatin aja. Semua yang gue omongin,
jangan dijadiin beban. Kalau besok-besok lo butuh temen ngobrol, bilang aja.
Mungkin mulai sekarang, lo bisa anggep gue temen lo. Dan tenang aja, nanti lo
bakal gue kenalin sama temen-temen gue.” Ucapnya sambil menepuk pundakku.
“Hehe,
makasih, Kak.”
“Santai.”
Rasanya aku ingin menghubungi Mama dan bercerita kalau aku sudah punya teman di
sini.
“Sal,
Bintang ada?” Sebuah suara menginterupsi kami berdua. Seseorang dengan tas
ransel di punggungnya.
“Eh,
Bang Rayhan. Bang Bintangnya belum pulang kayaknya.” Dari sapaan Kak Faisal,
berarti orang yang dipanggil Bang Rayhan ini kakak tingkat Kak Faisal.
“Wah,
masih pacaran tuh orang.” Jawab orang tadi.
“Langsung
chat aja kalau ada urusan penting,
Bang.” Aku hanya sebagai penonton obrolan mereka berdua.
“Eh
iya, Bang. Kenalin ini Dimas, maba Sastra Indonesia. Dim, kenalin tuh Bang
Rayhan, Teknik Informatika.” Aku hanya mengangguk pada Bang Rayhan.
“Lo
jangan ngenalin gue sama maba dong, Sal. Semakin jelas tuanya gue.”Jawab Bang
Rayhan diikuti tawa setelahnya.
Setelah
perkenalan singkat itu, Bang Rayhan memutuskan untuk ikut duduk di teras kosan
sambil menunggu orang yang dipanggilnya Bintang. Kita bertiga mengobrol, atau
lebih tepatnya aku mendengarkan obrolan mereka berdua. Entah itu cerita tentang
ospek, kehidupan kampus, bahkan sampai curhatan colongan Bang Rayhan tentang
skripsinya yang tidak kelar-kelar.
Mungkin
yang dibilang Kak Faisal tadi benar, seharusnya tidak ada hal yang perlu aku
takutkan. Aku hanya perlu mengikuti alur yang sudah ada dengan caraku sendiri
tentunya. Dan yang paling penting, aku harus bertahan.
--Triana Febri--

Tidak ada komentar:
Posting Komentar