NYAMAN
“Bersikap sewajarnya, agar perasaan
yang ada juga semestinya.”
***
Menurut lo definisi teman
itu apa? Orang yang selalu siap buat diajak main? Orang yang bisa dengerin lo
setiap saat? Atau orang yang memberikan seluruh perhatiannya buat lo?
“Orang yang bisa buat gue
nyaman.” Itu jawaban dari seseorang ketika gue iseng bertanya hal tersebut
padanya beberapa waktu lalu.
“Gue hanya berteman
dengan orang yang bisa buat gue nyaman. Dan itu kenapa kita bisa berteman.
Karena gue nyaman sama lo.” Lanjutnya ketika itu dengan begitu santainya.
Seseorang itu adalah
sosok yang sekarang duduk di depan gue. Menikmati gado-gadonya dengan pandangan
tak beralih dari ponselnya. Namanya Davina, dan gue lebih suka memanggilnya
Davi. Gue kenal sama dia dari semester satu. Kita satu jurusan, tapi beda
kelas.
Makan, main, nugas bahkan
sampai curhat udah biasa buat kita berdua. Ya, karena kita sama-sama nyaman
satu sama lain. Mau ngeluh bisa, mau marah-marah gak jelas udah biasa, sampai
ketawa receh bukan hal aneh lagi bagi kita. Gue sama Davi memang seterbuka itu.
Bahkan ngelebihin terbukanya gue sama pacar gue sendiri. Dan itu yang membuat
hubungan gue dan Davi banyak dibicarakan.
“Ray, lo sama Neta putus
gara-gara gue ya?” Pertanyaan Davi memecah keheningan di antara kita.
“Hah! Gimana?” Dengan
pandangan masih ke ponsel dan dia tiba-tiba tanya seperti itu, siapa juga yang
gak kaget. Ya, Neta itu pacar gue sampai kemarin. Sekarang sudah mantan.
“Hhh..kebiasaan deh lo
gak dengerin.” Gerutunya.
“Lha lo juga tiba-tiba tanya
tanpa ada awalan.” Jawab gue gak terima. “Lo tanya apa tadi?” Pinta gue. Denger
sih gue sebenernya, tapi perlu memastikan aja.
“Ya itu, lo sama Neta
putus apa gara-gara gue?” Ulangnya dengan fokus sudah beralih dari ponselnya ke
gue. Dia menunggu bagaimana jawaban gue.
“Haha..” Gue gak sanggup
nahan tawa ngelihat gimana ekspresinya sekarang, antara takut dan penasaran.
“Ngapain juga gara-gara lo? Emangnya lo siapa gitu?” Imbuh gue masih tertawa.
“Ya mungkin gara-gara
kita kayak gini, dia cemburu gitu? Atau ternyata secara nggak sadar gue udah
ngerusak hubungan lo sama Neta?” Tanya dia bertubi-tubi.
“Ya ampun, Dav, lo punya
pikiran kayak gitu darimana coba?”
“Ya ada lah pokoknya.”
Jawabnya sambil menusuk-nusuk sisa-sisa gado-gadonya. “Jawab aja sih, Ray, iya
apa nggak gitu aja.” Ucapnya dengan ekspresi yang menurut gue lucu.
“Omongannya orang aja lo
dengerin. Gue sama Neta putus gak ada hubungannya sama lo kok. Ya, karena kita
udah gak bisa jalan bareng aja. Putusnya juga baik-baik aja.” Jelas gue.
Padahal kemarin dia orang pertama yang gue ceritain putusnya gue sama Neta
setelah hampir satu setengah tahun pacaran.
“Serius?” Tanyanya dengan
pandangan menyelidik. Penasaran sih gue, dia dapet omongan kayak gitu dari
siapa.
“Gak percayaan banget
sih, Dav.” Ucap gue sebelum meminum jus jeruk gue yang tinggal setengah.
“Daripada ngomongin yang udah selesai, lo sendiri gimana? Arya udah ngasih
kabar ke lo hari ini?” Gue mencoba mengalihkan topik ke hubungan dia sama Arya
yang termasuk kelompok LDR.
“Ya gitulah, Ray.”
Jawabnya. Selalu jadi tempat curhat Davi, ngebuat gue langsung paham arti ‘ya
gitulah’nya itu.
“Tunggu aja, palingan
lagi sibuk dia.” Ucap gue sedikit menghibur dia. Davi hanya mengangguk.
Kantin siang itu tak
begitu ramai, makanya kita berdua bisa duduk di sini dengan santai. Sambil
menunggu Davi menyelesaikan makannya, gue membuka ponsel, mengecek ada pesan
atau tidak. Dan melihat angka 13:37 yang tertera di lockscreen, mengingatkan gue pada janji gue sama Arwino, teman
sekelas gue untuk mengerjakan tugas kelompok.
“Dav, lo udah gak ada
kelas kan?”
“Nggak. Kenapa?”
“Lo pulang duluan aja ya.
Gue baru inget ada janji sama Arwino.”
“Ya udah sih, santai.”
“Oke kalau gitu, gue
duluan. Dia bakal marah-marah kalau nunggu kelamaan.” Pamit gue. “Lo langsung
pulang ke kos, gak usah mampir-mampir, udah mau hujan.” Pesan gue.
“Iya, iya.” Jawabnya
dengan nada bosan.
Meninggalkan area kantin,
gue segera menyusuri jalan menuju gazebo fakultas. Gue janjian sama Arwino di
sana. Gue mempercepat langkah gue, karena sekarang udah lewat lebih dari 15
menit dari waktu janjian gue sama Arwino. Udah siap sih gue, kalau nanti
kedatangan gue disambut sama ocehan dia karena nunggu terlalu lama.
Dari kejauhan pandangan
gue sudah menemukan Arwino yang duduk di gazebo paling ujung dengan laptop yang
terbuka di depannya. Gue semakin merasa bersalah.
“No, udah dari tadi lo?”
Sapa gue sambil mengambil tempat di depannya. Dia mendongak dengan wajah
kesalnya.
“Darimana lo? Dosen aja
nggak datang 15 menit tanpa kabar udah ditinggal pulang, untung lo gak gue
tinggal pulang.” Gue hanya nyengir mendengar ocehan dia.
“Ya maaf. Ada urusan dulu
tadi.” Jelas gue.
“Paling juga urusan
Davina.” Ucapnya sambil fokus lagi sama laptopnya.
“Iya, nemenin dia makan.
Trus baru inget kalau gue ada janji sama lo.” Jawab gue sambil ikut
mengeluarkan laptop.
“Ray?”
“Hmm.”
“Sebenernya lo sama
Davina ada apa sih?”
“Maksud lo?”
“Bener lo putus sama Neta
karena dia?”
“Apaan sih, No. Gak jelas
lo.” Gue menertawakan pertanyaan Arwino yang tumben gak jelas. “Kenapa semua
orang nyangkut pautin putusnya gue sama Neta ke Davi? Gue sama Neta putus ya karena
udah gak cocok aja. Dan lagian Davi juga ada yang punya. Kita berdua cuma
temen, No, dan seharusnya lo tahu itu.” Jawab gue.
“Gue tahu itu. Tapi orang
lain? Lo sadarkan banyak yang ngomongin kalian bertiga?”
“Biarin aja.” Sebenarnya
gue udah sering denger omongan temen-temen kelas gue yang menyangkut pautkan
gue, Neta dan Davina. Gue pikir, mengabaikan omongan itu bakal berakhir
baik-baik aja, tapi ternyata pikiran gue salah.
“Ray, meskipun lo bodo
amat sama omongan orang, lo tetep harus inget, lo hidup di antara orang-orang
itu. Dan tanpa lo sadari omongan mereka mempengaruhi sikap lo.”
“Tapi dengerin omongan
mereka juga pasti nggak bakal ada habisnya. Gue cuma punya satu mulut buat
jawab omongan-omongan mereka, sedang mereka punya banyak mulut yang nggak ada
capeknya.”
“Tegas, Ray. Lo harus
tegas sama perasaan lo sendiri, itu yang mereka mau. Lo sama Davina selalu
bilang kalau kalian cuma temen, tapi sikap kalian berdua nggak kayak temen.
Mereka nggak buta.” Arwino mengambil jeda, mungkin memberi gue waktu buat jawab
omongannya. Tapi gue hanya diam sampai dia melanjutkan perkataannya lagi. “Kalau
memang lo sama Davina cuma temenan, ya perlakukan dia seperti temen lo yang
lain. Lo harus bisa tegas. Karena kalau ini semakin dalam, bukan cuma lo yang
jadi korban. Tapi juga dia, seseorang yang udah percaya sama dia, bahkan
pertemanan kalian juga jadi taruhan.” Gue merasakan tamparan yang sangat keras
dengan ucapan Arwino.
“Jadi gue harus gimana,
No? Jauhin dia?” Tanya gue pelan. Kenapa perasaan serumit ini?
“Yang bilang lo harus
jauhin dia siapa? Gue cuma ngasih saran, ya bersikaplah sewajarnya. Gue yakin,
lo paham apa yang gue maksud.” Jawab Arwino santai.
“Lo boleh nyaman, tapi
tetep tahu batasan, Ray.” Imbuh Arwino. “Ya udah, gue cabut dulu, ada janji.
Tugasnya nanti gue email, lo tambahin aja yang kurang apa.” Pamitnya. Tanpa
menunggu persetujuan gue, dia udah melangkah pergi.
Meski Arwino udah pergi
beberapa menit yang lalu, tapi perkataannya masih berputar di tempat ini. Masih
setia menemani gue dengan segala pikiran yang masih belum bisa gue uraikan.
Yang gue inginkan cuma temen yang bisa buat gue nyaman, dan itu gue temukan di
Davina. Gue terlalu nyaman sampai gue lupa masih ada batas yang nggak bisa gue
langgar, gue membenarkan omongan Arwino.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan
masuk muncul di layar ponsel gue. Gue segera meraihnya yang tergeletak di
samping laptop gue yang belum sempat gue nyalakan.
‘Ray, nanti nonton yuk.
Butuh refreshing.’ Pesan singkat dari sosok yang menjadi objek obrolan gue dan
Arwino tadi. Gue langsung mengiyakan. Karena gue gak bisa menolak setiap
permintaannya.
Jarum jam gue tepat
menunjukkan angka sembilan, ketika gue berhenti di depan indekos berpagar
putih. Seseorang yang yang duduk di boncengan motor gue segera turun. Davina
dengan hoodie hitamnya berdiri di samping motor gue.
“Makasih ya, Ray.”
Ucapnya sambil tersenyum. Gue hanya mengangguk sebagai jawaban.
Sebenarnya gue bisa saja
langsung pamit buat pulang seperti biasanya ketika gue mengantarkannya, tapi
entah kenapa ada yang mengganjal. Jujur gue masih kepikiran sama omongannya
Arwino tadi siang.
“Dav?” Panggil gue.
Indekosnya yang tepat di samping jalan raya, membuat gue harus sedkit
mengeraskan suara, karena jalanan yang masih bising. Dia hanya mendongak.
“Arya tahu kalau lo
nonton sama gue?” Pertanyaan gue tak bisa langsung di jawabnya. Ada jeda.
Mungkin dia bingung kenapa gue tiba-tiba tanya seperti itu. Karena sebelumnya,
ketika kita main keluar berdua, gue gak pernah menanyakan hal itu. Gue gak mau
ikut campur hubungan mereka, alasan gue.
“Buat apa? Dia
kemana-mana juga nggak ngasih kabar.” Jawabnya santai.
“Dav, kalau lo masih mau
mempertahankan hubungan lo sama Arya, ya lo jaga. Kalau dia gak bisa jaga lo,
ya lo yang harus jaga dia. Bantu dia buat sadar kalau lo masih ada. Kalau dia
yang gak ngasih kabar, lo yang mungkin harus ngasih kabar dulu.” Ucap gue. “Besok-besok,
bilang dulu sama Arya kalau lo mau main sama gue.” Imbuh gue.
“Kenapa sih lo? Aneh
banget.”
“Nggak. Gue cuma mau
bersikap layaknya teman.” Jawaban itu yang keluar begitu saja dari mulut gue.
“Ha?”
“Ya udah, gue pulang.
Jangan lupa kasih kabar ke Arya.” Pamit gue segera meninggalkan Davina yang
masih berdiri di depan indekosnya. Menyusuri jalan malam yang masih saja ramai.
Entah bagaimana gue harus
bersikap selanjutnya. Gue gak bisa langsung menjauhinya begitu saja. Karena dia
sama seperti gue, cuma butuh teman. Tapi nyatanya pertemanan kita rawan disalah
artikan. Gue berharap sikap yang gue ambil tadi tapat. Gue bisa menyelamatkan
dia dari omongan orang-orang, gue bisa menyelamatkan hubungan dia dengan Arya,
dan mungkin gue menyelamatkan hati gue sendiri.
Nyaman tidak selamanya
berarti baik-baik saja. Nyaman bisa disalah artikan. Nyaman bisa jadi alasan
kenapa harus bertahan. Nyaman bisa disalah gunakan untuk topeng sebuah
pelarian. Begitu juga nyaman dalam sebuah pertemanan. Siapa yang bisa menjamin
nyaman dalam pertemanan itu tanpa ada perasaan yang ikut ambil bagian? Karena
nyaman dan hati hanya tipis batasnya. Tidak ada yang salah dengan sebuah
pertemanan, yang salah itu ketika tidak sadar batasan.
“Lo
boleh nyaman, tapi tetep tahu batasan, Ray.” Ucapan Arwino
yang nemenin gue menyusuri jalanan pulang ke indekos gue dengan segala
keputusan yang sudah gue ambil.
--Triana
Febri--

Tidak ada komentar:
Posting Komentar