Minggu, 18 November 2018

[CERPEN] NYAMAN


NYAMAN
“Bersikap sewajarnya, agar perasaan yang ada juga semestinya.”
***

Menurut lo definisi teman itu apa? Orang yang selalu siap buat diajak main? Orang yang bisa dengerin lo setiap saat? Atau orang yang memberikan seluruh perhatiannya buat lo?
“Orang yang bisa buat gue nyaman.” Itu jawaban dari seseorang ketika gue iseng bertanya hal tersebut padanya beberapa waktu lalu.
“Gue hanya berteman dengan orang yang bisa buat gue nyaman. Dan itu kenapa kita bisa berteman. Karena gue nyaman sama lo.” Lanjutnya ketika itu dengan begitu santainya.
Seseorang itu adalah sosok yang sekarang duduk di depan gue. Menikmati gado-gadonya dengan pandangan tak beralih dari ponselnya. Namanya Davina, dan gue lebih suka memanggilnya Davi. Gue kenal sama dia dari semester satu. Kita satu jurusan, tapi beda kelas.
Makan, main, nugas bahkan sampai curhat udah biasa buat kita berdua. Ya, karena kita sama-sama nyaman satu sama lain. Mau ngeluh bisa, mau marah-marah gak jelas udah biasa, sampai ketawa receh bukan hal aneh lagi bagi kita. Gue sama Davi memang seterbuka itu. Bahkan ngelebihin terbukanya gue sama pacar gue sendiri. Dan itu yang membuat hubungan gue dan Davi banyak dibicarakan.
“Ray, lo sama Neta putus gara-gara gue ya?” Pertanyaan Davi memecah keheningan di antara kita.
“Hah! Gimana?” Dengan pandangan masih ke ponsel dan dia tiba-tiba tanya seperti itu, siapa juga yang gak kaget. Ya, Neta itu pacar gue sampai kemarin. Sekarang sudah mantan.
“Hhh..kebiasaan deh lo gak dengerin.” Gerutunya.
“Lha lo juga tiba-tiba tanya tanpa ada awalan.” Jawab gue gak terima. “Lo tanya apa tadi?” Pinta gue. Denger sih gue sebenernya, tapi perlu memastikan aja.
“Ya itu, lo sama Neta putus apa gara-gara gue?” Ulangnya dengan fokus sudah beralih dari ponselnya ke gue. Dia menunggu bagaimana jawaban gue.
“Haha..” Gue gak sanggup nahan tawa ngelihat gimana ekspresinya sekarang, antara takut dan penasaran. “Ngapain juga gara-gara lo? Emangnya lo siapa gitu?” Imbuh gue masih tertawa.
“Ya mungkin gara-gara kita kayak gini, dia cemburu gitu? Atau ternyata secara nggak sadar gue udah ngerusak hubungan lo sama Neta?” Tanya dia bertubi-tubi.
“Ya ampun, Dav, lo punya pikiran kayak gitu darimana coba?”
“Ya ada lah pokoknya.” Jawabnya sambil menusuk-nusuk sisa-sisa gado-gadonya. “Jawab aja sih, Ray, iya apa nggak gitu aja.” Ucapnya dengan ekspresi yang menurut gue lucu.
“Omongannya orang aja lo dengerin. Gue sama Neta putus gak ada hubungannya sama lo kok. Ya, karena kita udah gak bisa jalan bareng aja. Putusnya juga baik-baik aja.” Jelas gue. Padahal kemarin dia orang pertama yang gue ceritain putusnya gue sama Neta setelah hampir satu setengah tahun pacaran.
“Serius?” Tanyanya dengan pandangan menyelidik. Penasaran sih gue, dia dapet omongan kayak gitu dari siapa.
“Gak percayaan banget sih, Dav.” Ucap gue sebelum meminum jus jeruk gue yang tinggal setengah. “Daripada ngomongin yang udah selesai, lo sendiri gimana? Arya udah ngasih kabar ke lo hari ini?” Gue mencoba mengalihkan topik ke hubungan dia sama Arya yang termasuk kelompok LDR.
“Ya gitulah, Ray.” Jawabnya. Selalu jadi tempat curhat Davi, ngebuat gue langsung paham arti ‘ya gitulah’nya itu.
“Tunggu aja, palingan lagi sibuk dia.” Ucap gue sedikit menghibur dia. Davi hanya mengangguk.
Kantin siang itu tak begitu ramai, makanya kita berdua bisa duduk di sini dengan santai. Sambil menunggu Davi menyelesaikan makannya, gue membuka ponsel, mengecek ada pesan atau tidak. Dan melihat angka 13:37 yang tertera di lockscreen, mengingatkan gue pada janji gue sama Arwino, teman sekelas gue untuk mengerjakan tugas kelompok.
“Dav, lo udah gak ada kelas kan?”
“Nggak. Kenapa?”
“Lo pulang duluan aja ya. Gue baru inget ada janji sama Arwino.”
“Ya udah sih, santai.”
“Oke kalau gitu, gue duluan. Dia bakal marah-marah kalau nunggu kelamaan.” Pamit gue. “Lo langsung pulang ke kos, gak usah mampir-mampir, udah mau hujan.” Pesan gue.
“Iya, iya.” Jawabnya dengan nada bosan.
Meninggalkan area kantin, gue segera menyusuri jalan menuju gazebo fakultas. Gue janjian sama Arwino di sana. Gue mempercepat langkah gue, karena sekarang udah lewat lebih dari 15 menit dari waktu janjian gue sama Arwino. Udah siap sih gue, kalau nanti kedatangan gue disambut sama ocehan dia karena nunggu terlalu lama.
Dari kejauhan pandangan gue sudah menemukan Arwino yang duduk di gazebo paling ujung dengan laptop yang terbuka di depannya. Gue semakin merasa bersalah.
“No, udah dari tadi lo?” Sapa gue sambil mengambil tempat di depannya. Dia mendongak dengan wajah kesalnya.
“Darimana lo? Dosen aja nggak datang 15 menit tanpa kabar udah ditinggal pulang, untung lo gak gue tinggal pulang.” Gue hanya nyengir mendengar ocehan dia.
“Ya maaf. Ada urusan dulu tadi.” Jelas gue.
“Paling juga urusan Davina.” Ucapnya sambil fokus lagi sama laptopnya.
“Iya, nemenin dia makan. Trus baru inget kalau gue ada janji sama lo.” Jawab gue sambil ikut mengeluarkan laptop.
“Ray?”
“Hmm.”
“Sebenernya lo sama Davina ada apa sih?”
“Maksud lo?”
“Bener lo putus sama Neta karena dia?”
“Apaan sih, No. Gak jelas lo.” Gue menertawakan pertanyaan Arwino yang tumben gak jelas. “Kenapa semua orang nyangkut pautin putusnya gue sama Neta ke Davi? Gue sama Neta putus ya karena udah gak cocok aja. Dan lagian Davi juga ada yang punya. Kita berdua cuma temen, No, dan seharusnya lo tahu itu.” Jawab gue.
“Gue tahu itu. Tapi orang lain? Lo sadarkan banyak yang ngomongin kalian bertiga?”
“Biarin aja.” Sebenarnya gue udah sering denger omongan temen-temen kelas gue yang menyangkut pautkan gue, Neta dan Davina. Gue pikir, mengabaikan omongan itu bakal berakhir baik-baik aja, tapi ternyata pikiran gue salah.
“Ray, meskipun lo bodo amat sama omongan orang, lo tetep harus inget, lo hidup di antara orang-orang itu. Dan tanpa lo sadari omongan mereka mempengaruhi sikap lo.”
“Tapi dengerin omongan mereka juga pasti nggak bakal ada habisnya. Gue cuma punya satu mulut buat jawab omongan-omongan mereka, sedang mereka punya banyak mulut yang nggak ada capeknya.”
“Tegas, Ray. Lo harus tegas sama perasaan lo sendiri, itu yang mereka mau. Lo sama Davina selalu bilang kalau kalian cuma temen, tapi sikap kalian berdua nggak kayak temen. Mereka nggak buta.” Arwino mengambil jeda, mungkin memberi gue waktu buat jawab omongannya. Tapi gue hanya diam sampai dia melanjutkan perkataannya lagi. “Kalau memang lo sama Davina cuma temenan, ya perlakukan dia seperti temen lo yang lain. Lo harus bisa tegas. Karena kalau ini semakin dalam, bukan cuma lo yang jadi korban. Tapi juga dia, seseorang yang udah percaya sama dia, bahkan pertemanan kalian juga jadi taruhan.” Gue merasakan tamparan yang sangat keras dengan ucapan Arwino.
“Jadi gue harus gimana, No? Jauhin dia?” Tanya gue pelan. Kenapa perasaan serumit ini?
“Yang bilang lo harus jauhin dia siapa? Gue cuma ngasih saran, ya bersikaplah sewajarnya. Gue yakin, lo paham apa yang gue maksud.” Jawab Arwino santai.
“Lo boleh nyaman, tapi tetep tahu batasan, Ray.” Imbuh Arwino. “Ya udah, gue cabut dulu, ada janji. Tugasnya nanti gue email, lo tambahin aja yang kurang apa.” Pamitnya. Tanpa menunggu persetujuan gue, dia udah melangkah pergi.
Meski Arwino udah pergi beberapa menit yang lalu, tapi perkataannya masih berputar di tempat ini. Masih setia menemani gue dengan segala pikiran yang masih belum bisa gue uraikan. Yang gue inginkan cuma temen yang bisa buat gue nyaman, dan itu gue temukan di Davina. Gue terlalu nyaman sampai gue lupa masih ada batas yang nggak bisa gue langgar, gue membenarkan omongan Arwino.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan masuk muncul di layar ponsel gue. Gue segera meraihnya yang tergeletak di samping laptop gue yang belum sempat gue nyalakan.
‘Ray, nanti nonton yuk. Butuh refreshing.’ Pesan singkat dari sosok yang menjadi objek obrolan gue dan Arwino tadi. Gue langsung mengiyakan. Karena gue gak bisa menolak setiap permintaannya.
Jarum jam gue tepat menunjukkan angka sembilan, ketika gue berhenti di depan indekos berpagar putih. Seseorang yang yang duduk di boncengan motor gue segera turun. Davina dengan hoodie hitamnya berdiri di samping motor gue.
“Makasih ya, Ray.” Ucapnya sambil tersenyum. Gue hanya mengangguk sebagai jawaban.
Sebenarnya gue bisa saja langsung pamit buat pulang seperti biasanya ketika gue mengantarkannya, tapi entah kenapa ada yang mengganjal. Jujur gue masih kepikiran sama omongannya Arwino tadi siang.
“Dav?” Panggil gue. Indekosnya yang tepat di samping jalan raya, membuat gue harus sedkit mengeraskan suara, karena jalanan yang masih bising. Dia hanya mendongak.
“Arya tahu kalau lo nonton sama gue?” Pertanyaan gue tak bisa langsung di jawabnya. Ada jeda. Mungkin dia bingung kenapa gue tiba-tiba tanya seperti itu. Karena sebelumnya, ketika kita main keluar berdua, gue gak pernah menanyakan hal itu. Gue gak mau ikut campur hubungan mereka, alasan gue.
“Buat apa? Dia kemana-mana juga nggak ngasih kabar.” Jawabnya santai.
“Dav, kalau lo masih mau mempertahankan hubungan lo sama Arya, ya lo jaga. Kalau dia gak bisa jaga lo, ya lo yang harus jaga dia. Bantu dia buat sadar kalau lo masih ada. Kalau dia yang gak ngasih kabar, lo yang mungkin harus ngasih kabar dulu.” Ucap gue. “Besok-besok, bilang dulu sama Arya kalau lo mau main sama gue.” Imbuh gue.
“Kenapa sih lo? Aneh banget.”
“Nggak. Gue cuma mau bersikap layaknya teman.” Jawaban itu yang keluar begitu saja dari mulut gue.
“Ha?”
“Ya udah, gue pulang. Jangan lupa kasih kabar ke Arya.” Pamit gue segera meninggalkan Davina yang masih berdiri di depan indekosnya. Menyusuri jalan malam yang masih saja ramai.
Entah bagaimana gue harus bersikap selanjutnya. Gue gak bisa langsung menjauhinya begitu saja. Karena dia sama seperti gue, cuma butuh teman. Tapi nyatanya pertemanan kita rawan disalah artikan. Gue berharap sikap yang gue ambil tadi tapat. Gue bisa menyelamatkan dia dari omongan orang-orang, gue bisa menyelamatkan hubungan dia dengan Arya, dan mungkin gue menyelamatkan hati gue sendiri.
Nyaman tidak selamanya berarti baik-baik saja. Nyaman bisa disalah artikan. Nyaman bisa jadi alasan kenapa harus bertahan. Nyaman bisa disalah gunakan untuk topeng sebuah pelarian. Begitu juga nyaman dalam sebuah pertemanan. Siapa yang bisa menjamin nyaman dalam pertemanan itu tanpa ada perasaan yang ikut ambil bagian? Karena nyaman dan hati hanya tipis batasnya. Tidak ada yang salah dengan sebuah pertemanan, yang salah itu ketika tidak sadar batasan.
“Lo boleh nyaman, tapi tetep tahu batasan, Ray.” Ucapan Arwino yang nemenin gue menyusuri jalanan pulang ke indekos gue dengan segala keputusan yang sudah gue ambil.

--Triana Febri--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar