~febriaz~
SAVE ME
I need your love
before I fall, fall..
~Save
Me – BTS~
‘BRAK!! PRANG!!’
Lagi, lagi dan lagi suara-suara itu terdengar. Teriakan suara berat laki-laki
dan sahutan suara keras wanita yang seperti tak mau kalah. Tak peduli jika itu
malam yang semakin larutpun, suara-suara itu tetap saja terdengar memenuhi
sebuah rumah megah. Tak dipedulikan lagi bagaimana perasaan para tetangga yang
mungkin terganggu dengan suara-suara itu. Bukan hanya tetangga, perasaan sang
anak pun juga tak dipedulikan mereka.
Di salah satu
kamar di rumah itu, terlihat sosok yang
sudah jengah dengan pertengkaran-pertengkaran itu. Jae, Junior Hansa Leonardo.
Ini bukan pertama atau kedua kalinya dia menyaksikan atau mendengar semua
teriakan bahkan lemparan barang. Semua drama orang tuanya mungkin sudah seperti
tontonan wajibnya. Tak ada yang bisa ia lakukan. Lebih tepatnya, ia tak mau
melakukan apa-apa karena apapun yang akan ia lakukan nanti tak akan mengubah
apa-apa.
Dengan kasar, ia
pasang kembali headphone ke telinganya. Mencoba meredam suara-suara orang
tuanya dengan music rock bervolume tinggi. Tapi sepertinya usahanya sia-sia.
Nyatanya musiknya tak mampu menyembunyikan suara-suara itu. Jae melempar
headphonenya ke sembarang tempat. Ia kemudian menyambar kunci motornya dan
jacket yang tak jauh darinya. Jae melewati begitu saja ruang tamu, tempat orang
tuanya masih berkacak pinggang dengan argumennya sendiri-sendiri. Jae tak ada
niat untuk berhenti sekedar berpamitan. Toh tak ada yang peduli kemana ia akan
pergi.
Dilihatnya
sekali lagi rumah megah yang menjadi tempat tinggalnya. Tak bisa ia sembunyikan
kilatan emosi, kekesalan yang tergambar di matanya. Yang ada dipandangannya
bukanlah rumah megah bak istana. Melainkan rumah megah yang seperti neraka
untuknya. Jae membuang pandangannya. Segera Jae tutupi pandangnnya menggunakan
helmnya. Seperti tak mau berlama-lama lagi disana, Jae segera menstarter motor
sport-nya dan meninggalkan halaman rumahnya.
Deru motor Jae
ikut membelah malam di jalanan kota Jakarta. Memang jalanan Jakarta tak akan
pernah sepi, jam berapapun itu. Jae terus melajukan motornya entah kemana. Yang
jelas ke tempat yang mampu menerima semua emosinya. Dan tempat dimana ia tak
lagi mampu mendengar suara-suara yang dibencinya.
Sekitar satu jam
Jae bersama motornya menyusuri jalan raya, akhirnya ia berhenti di salah satu
sudut kota Jakarta. Tempat yang benar-benar ia inginkan. Jae di sana tak
sendiri. Sudah banyak orang-orang yang seperti dia berkumpul disana. Arena
balap liar. Tempat yang dulu untuk menyalurkan hobinya. Namun sekarang hanya
untuk melampiaskan emosinya.
“Hades?! Akhirnya
datang juga lo.” Seseorang menghampiri Jae setelah menyadari kedatangannya. Ya,
ditempat ini tak ada yang mengetahui siapa namanya yang sebenarnya. Jae
menggunakan nama ‘Hades’ ditempat ini. Jae segera melepas helmnya dan membalas sapaan
orang itu dengan senyum sinis khas Jae.
“Malam ini lo
harus main!” Ucap orang itu lagi. Dia Brian, salah satu teman Jae. Tapi bukan
‘teman’ yang mengetahui siapa Jae sepenuhnya. Brian hanya termasuk segelintir
orang yang mengenal Jae karena tempat ini. Ya, sebagai Hades.
“Lo tahu gue
belum siap main kan, Yan?” Ucap Jae. Memang akhir-akhir ini Jae hanya sebagai
penonton di arena ini. Dia belum benar-benar siap untuk bermain lagi. Setelah
kejadian 2 tahun silam. Yang sempat membuat Jae trauma dengan yang namanya
balapan liar. Namun ia sadar, ia tak bisa berlari. Akhirnya Jae kembali ke
arena ini. Beberapa kali ia kembali mencoba
untuk bermain, namun ia tak pernah sampai garis akhir.
“Ayolah! Sampai
kapan lo mau begini terus. Lo harus hadepin ketakutan lo. Semua orang yang
kumpul di sini sudah pada kangen sama Hades. Dan gue bisa jamin lawan lo
sekarang selevel sama lo. Bisa ngembaliin kejayaan Hades yang udah lama
tenggelam. Dia udah menang beberapa kali disini waktu lo nggak datang. Dan
malam ini, dia ada disini dan kebetulan lo juga disini.” Jelas Brian lagi. Jae
sedikit tertarik dengan informasi Brian. Karena malam ini ia butuh pelampiasan
yang benar-benar sebanding dengannya. Dan apa yang dikatakan Brian tak salah.
Ia harus kembali. Hades harus bangkit lagi.
“Who?” Tanya Jae.
“Black Angel.”
“Namanya?”
“Bukan. Itu
panggilannya. Kalau namanya, gue juga nggak tahu.” Ujar Brian hanya dijawab
anggukan paham Jae.
“So? Tertarik?” Tanya Brian memastikan.
“Boleh juga.”
Jawab Jae enteng.
“Yes! Kalau gitu
gue bilang dia dulu. Lo persiapan aja. Welcome
and good luck, Hades.” Ucap Brian sambil berlalu pergi.
Jae melihat
Brian sedang berbincang dengan seseorang. Karena terhalang punggung Brian, Jae
tak berhasil melihat siapa orang itu. Dalam benaknya, Jae masih penasaran
dengan Black Angel. Dari panggilannya dia sepertinya seorang cewek. Tapi,
seperti apa skillnya sampai ia mampu menjuarai di arena ini. Karena Jae tahu
bahkan semua yang nongkrong di tempat ini tahu, hanya satu orang yang
mampu berada di peringkat atas tempat
ini. Jae. Ya, sejak Jae menginjakkan kakinya di tempat ini, tak ada yang mampu
mengalahkannya. Semua orang tahu bagaimana seorang Jae ketika sudah berada di
jalanan. Meski ia telah vakum untuk waktu yang tak sebentar. Dan mala mini sang
Hades telah kembali.
“Stand by! Dia udah ada digaris start.”
Brian kembali menghampirinya. Jae hanya mengangguk.
Segera ia
memakai helmnya kembali dan menuju garis start. Jangan lupakan teriakan
histeris penonton di arena itu mengetahui Hades sudah kembali. Di garis start,
Jae menemukan si Black Angel sudah siap. Jae mengamati motor yang dipakai Black
Angel. Sepertinya dia sangat mengenali motor hitam itu. Tapi milik siapa?
Setelah mengorek memorinya sebantar, Jae terhenyak mendapatkan ingatannya.
Motor hitam itu mirip seperti motor milik orang yang dia kenal. Merasa
diperhatikan, Black Angel menoleh. Pandangan mereka bertemu beberapa detik.
Tapi segera teralihkan dengan kehadiran seseorang yang berada di antara mereka
membawa bendera. Dan setelah bendera terlempar dari sang pembawa, kedua motor
itu langsung melesat begitu saja.
Jae terus memacu
motornya dengan kecepatan tinggi. Antara ingin meluapkan emosinya, melawan ketakutannya
dan tak ingin si Black Angel menyusulnya. Pandangan Jae terus ke jalanan depan,
namun tak dipungkiri ia juga sesekali melirik kaca sepionnya, mengawasi
keberadaan Black Angel. Jae sedikit terkejut ketika Black Angel sudah berada di
sampingnya. Menjajari lajunya. Bahkan Jae sempat melihat Black Angel menoleh
padanya. Jae sangat yakin kalau dibalik helm Black Angel, dia sedang tersenyum
sinis pada Jae. Jae bisa merasakan itu. Jae segera menambah kecepatannya. Ia
tak ingin lengah. Dalam pertandingan kali ini, Jae baru merasakan bagaimana
rasanya ketakutan dan khawatir. Ia tak mau dikalahkan oleh seorang cewek. Tak
sadar ia sedikit melupakan masalahnya. Tergantikan sedikit pengakuan mengenai
kemampuan Black Angel yang tadi sempat ia remehkan.
“Wooooo….”
Teriakan itu terdengar ketika Jae melintasi garis finis. Dan tak lama berselang
di belakangnya, Black Angel. Hanya berselang sepersekian detik. Akhirnya untuk
pertama kalinya setelah 2 tahun berlalu, Jae berhasil melintasi garis finish.
“Good job, Hades. You’re the best. Hades is
back!” Teriak Brian dengan cengiran. Jae hanya mengangkat tangannya,
menerima ucapan itu.
Jae melepas
helmnya. Ia berniat untuk menghampiri Black Angel, namun Jae tak melihat dimana
Black Angel. Setahunya tadi lawannya itu berhenti tak jauh darinya. Tapi kali
ini Jae tak melihatnya masih di tempat ini. Jae terus mengedarkan pandangannya.
“She’s go home.” Ucap Brian.
“I don’t care.” Jawab Jae mengelak. Brian
hanya tertawa. Jae memasang helmnya kembali.
“Mau kemana lo?”
Tanya Brian.
“Pulang.”
“Lo nggak ikut
party dulu?” Tanya Brian sambil menunjukkan beberapa lembar uang hasil dari
taruhannya.
“Habisin aja
sendiri. Nggak ada minat.” Jawab Jae.
“Take care,
bro.” Ucap Brian terakhir kali sebelum Jae melesat pergi. Kembali membelah
jalanan Jakarta dini hari menuju rumahnya.
***
Di sisi jalan
Jakarta yang lain, sebuah motor sport hitam juga melaju dengan kecepatan
tinggi. Dialah Black Angel. Setelah pertandingan tadi, dia langsung kembali
memacu motornya meninggalkan arena balap. Bukan karena dia malu lantas kabur
begitu saja. Bukan juga karena dia takut pulang malam. Tapi, karena dia sudah
menemukan apa yang dia inginkan.
Motor sport
hitam itu berhenti di depan sebuah rumah mewah. Black Angel segera melepas
helmnya. Sekarang terlihatlah seorang gadis dengan rambut sebahunya yang tadi
tersembunyi di balik helm. Dia lantas meninggalkan motornya dan segera masuk.
Tak ditemukannya
siapapun dalam rumah itu. Dia langsung menuju sebuah kamar tepat di sebelah
kamarnya. Dibukanya perlahan pintu kamar itu. Kamar dengan nuansa hitam-putih
namun terasa sangat nyaman. Gadis itu langsung melangkah masuk.
“Ken, Key
pulang.” Ucap gadis itu yang bernama Key.
Bukan kepada
seseorang Key mengucapkan salam. Karena kamar itu kosong. Tak ada seorangpun
disana. Key terus melangkah mendekati ranjang yang berada di tengah kamar itu.
Dan terdapatlah sebuah foto yang tergeletak di ranjang itu. Seorang pemuda
dengan rupa yang hampir sama dengan Key sedang tersenyum lebar tergambar difoto
itu.
“Ken, I miss you so bad.” Ucap Key pada foto
itu.
“Gue
menemukannya, Ken.” Imbuh Key.
Setelah dirasa cukup
melihat foto kembarannya, Key melangkah keluar. Meninggalkan kamar yang sudah kosong
sejak kepergian Ken. Key masuk ke kamarnya sendiri. Dan langsung melemparkan tubuhnya
ke ranjangnya. Mengistirahatkan pikirannya.
Kesha Aryani
Jasson. Setelah kepergian sang kembarannya, Kenly Arlan Jasson, dia hidup
sendiri. Orang tuanya masih ada. Namun entah sekarang berada di bumi bagian
mana. Papanya, Tuan Jasson, lebih menyayangi pekerjaannya daripada anaknya.
Bahkan saat hari pemakaman Ken, Tuan Jasson hanya pulang sebentar kemudian
pergi lagi ke Eropa. Sedangkan sang Mama, Nyonya Jasson, memilih pergi dengan lelaki lain karena tak
tahan dengan kelakuan suaminya. Awalnya, Key tak peduli dengan hidupnya, dengan
keberadaan orang tuanya. Asalkan Ken selalu bersamanya. Namun, setelah
kecelakaan itu dan membawa pergi kakak satu-satunya, Key semakin merasakan
hidupnya benar-benar sendiri.
Meskipun sempat
merasakan bagaimana berada dititik kehilangan sampai rasanya seperti depresi
karena kematian Ken, Key perlahan bangkit. Ia sadar, bersedih terlalu lama tak
akan bisa mengembalikan Ken. Dan akhirnya Key, kembali ke rumah lamanya setelah
2 tahun yang lalu dia menenenangkan diri di rumahnya yang berada di Bali. Key
sudah sepakat dengan dirinya mulai besuk akan memulai lembaran baru, demi Ken.
***
SMA Airlangga. Bel
masuk akan berbunyi 5 menit lagi. Namun sepertinya para siswa masih enggan
memasuki kelas dan menyiapkan pelajaran. Buktinya mereka masih asyik mengobrol
di halaman maupun di koridor. Tiba-tiba seperti dikomando, kerumunan di koridor
sedikit menepi, membuat sebuah jalan. Pemandangan seperti ini sudah biasa
terlihat di SMA Airlangga. Tepatnya 1 tahun yang lalu setelah seorang Junior
Hansa Leonardo resmi menjadi siswa Airlangga.
Benar saja,
terlihatlah dari ujung koridor melangkah Jae dengan santainya. Headphone setia
ditelinganya, kedua tangan di saku hoodienya, dan jangan lupakan wajah yang tak
menampilkan ekspresi apapun, datar tepatnya dingin. Dengan penampilan yang
dingin terkesan sombong itulah Jae mampu menjadi pusat perhatian. Tinggi, badan
atletis, rupa oriental, mata coklat tajam mampu membuat siapa saja yang
melihatnya tak bisa mangalihkan pandangannya dari seorang Jae.
Berbeda dengan
ekspresi para siswi Airlangga yang melihat Jae dengan tatapan memuja, Jae
justru tak memperdulikan itu semua. Dia tetap berjalan dengan santainya menuju
XI-3, kelasnya. Setelah langkahnya sampai di kelasnya, dia langsung saja
melangkah ke meja di pojok belakang, meja favorit ke banyakan siswa. Setelah
melempar tasnya di meja, dia juga segera meletakkan kepalanya di atas tasnya.
Tak dipedulikannya bel yang sudah berdering nyaring. Tak perlu dikhawatirkannya
guru yang akan segera datang. Karena ia sangat tahu, tak kan ada yang berani
mengusik seorang Jae. Dia bukan golongan troublemaker di Airlangga. Namun
dengan nama ‘Leonardo’ sebagai nama belakangnya, semua orang yang berada di Airlangga perlu berpikir
dua kali jika ingin berhubungan dengan Jae.
“Selamat pagi
semua?” Salam Bu Ratna, guru Fisika yang mengajar jam pertama di XI-3. Jae
mendengan salam itu, namun ia tak juga mengangkat kepalanya.
“Pagi, Bu.”
Jawab semua siswa yang menghuni kelas itu. Ya, kecuali Jae.
“Hari ini, ada
siswa baru di Airlangga tepatnya di kelas ini.” Ucap Bu Ratna. Kemudian seorang
cewek melangkah perlahan dan berdiri di samping Bu Ratna.
“Silahkan
perkenalkan siapa kamu!” Perintah Bu Ratna halus.
“Kenalkan nama
gue, Keysha Aryani Jasson.” Hanya satu kalimat yang berhasil keluar dari mulut
Key.
Mendengar nama
belakang Key, Jae mengangkat kepalanya. Ia seperti familiar dengan nama itu.
Namun, setelah melihat Key, Jae terpaku dengan tatapan Key. Tak dipedulikan
lagi nama belakang Key beralih ke tatapan Key. Jae mengenal tatapan itu.
“Black Angel.”
Ucap lirih Jae. Ia sangat yakin, cewek yang sedang berdiri di depan kelasnya
itu adalah Black Angel.
“Sudah?” Bu
Ratna memastikan perkenalan Key yang hanya menyebutka nama lengkapnya itu. Key
mengangguk.
“Ya sudah,
silahkan duduk di kursi kosong itu.” Ucap Bu Ratna menunjukkan kursi kosong
yang berada tak jauh dari meja Jae.
Setelah
mengangguk pada Bu Ratna, Key melangkah ke meja barunya. Tak sengaja tatapannya
tertuju pada Jae yang masih memperhatikan Key. Kemudian senyum sinis yang
didapatkan Key, sebelum sang pemilik senyum itu kembali meletakkan kepalanya di
meja.
“Hades.” Ucap
Key pelan. Key tak menyangka bisa bertemu lagi dengan orang yang tadi malam
beradu kecepatan dengannya. Key tersenyum miring mengingat kejadian tadi malam.
“Baiklah, kita
lanjutkan pelajaran minggu lalu.” Ucap Bu Ratna mengalihkan pikiran Key.
***
Apa yang bisa
digambarkan ketika hari pertama di tempat baru? Sepi? Bosen? Atau awkward? Ya
seperti itulah yang dialami Key. Namun jika kebanyakan siswa baru segera mencari
teman, berbeda dengan Key. Karena seperti inilah yang dia inginkan. Tak ada
orang yang mengenalinya. Sehingga ia tak perlu repot-repot untuk membangun
hubungan. Entah itu dengan temannya atau yang lain. Dan yang jelas dia
menikmati kesendiriannya.
“Hai?” Sebuah
suara mengintrupsi Key. Membuat Key mendongak dari bukunya. Dan ia temukan
seorang cowok berdiri di depan mejanya. Bukannya segera menjawab, Key justru
hanya menyipitkan matanya. Memberikan tatapan terganggu karena kedatangan cowok
itu.
“Lo murid baru
kan? Kenalin gue Ajun Mahardika. XII-4.” Ajun memperkenalkan dirinya. Key hanya
menatap Ajun tajam tanpa ada niat membalas perkenalan itu.
“Udah? Kalau
udah selesai, tolong pergi. Gue sibuk.” Ucap Key dingin sontak membuat beberapa
siswi di kelas itu melemparkan tatapan tajam ke Key. Secara Key sudah berani
mengusir seorang Ajun. Idola Airlangga.
“Lo ngusir gue?”
Tanya Ajun. Kali ini Key tak menjawab. Bahkan dia tak mengangkat kepalanya
sedikitpun.
“Sopan santun lo
sebagai adik kelas mana?” Tanya Ajun kesal karena tak dihiraukan Key.
“Berisik!”
Sebuah suara membuat semua pasang mata yang berada di dalam kelas itu menoleh
pada sumber suara. Dan yang mereka temukan adalah seorang Jae mengangkat
kepalanya dan memberi tatapan terganggu.
“Kalau nggak
mau, nggak usah dipaksa kali.” Ucap Jae lagi. Dari nadanya sangat jelas kalau
dia sangat kesal. Dan perkenalan Ajun-Key sangat mengganggunya. Semua orang
tahu itu.
Ajun hanya mampu
menatap Jae tajam. Dan itu hanya dibalas dengan tatapan santai oleh Jae. Key
sempat menoleh, tapi hanya beberapa detik saja. Setelah itu ia kembali fokus
pada bukunya. Karena ia merasa tak perlu memperdulikan acara tatap-tatapan dua
cowok itu. Dan tanpa sepatah katapun, akhirnya Ajun memilih melangkahkan
kakinya dari kelas itu. Bukannya ia takut dengan Jae. Hanya dia sangat tahu
siapa Jae sebenarnya. Jadi, dia lebih memilih diam daripada berurusan dengan
Jae. Sepeninggalan Ajun, Jae kembali ke posisi semula.
***
Jae melepas
headphone-nya ketika deringan bel panjang menembus pendengarannya. Ia kemudian
mengangkat kepalanya dan menemukan teman kelasnya keluar kelas satu persatu. Setelah
meregangkan ototnya sebentar, Jae segera menyambar tasnya dan beranjak dari
kursinya. Ia kemudian melangkah menuju pintu kelas melewati satu-satunya kursi
yang masih berpenghuni.
“Kalau main tuh
pakai hati. Bukan cuma pakai emosi.” Sebuah suara menghentikan langkah Jae.
Dengan cepat ia menoleh, memberi tatapan tajam pada sang pemilik suara. Jae tak
pernah suka jika ada yang mengomentari hidupnya.
“Tau apa sih
lo?” Ucap Jae sinis. Ia masih memandang tajam gadis yang tak juga beranjak dari
kursinya. Key hanya tersenyum.
“Gue tahu lo,
Hades.” Ucap Key dengan senyum misteriusnya. Jae tertawa pelan.
“Ah..lo masih
nggak terima kekalahan lo yang kemarin, Black Angel? Sabar ya..” Ucap Jae
dengan nada suara yang dibuat-buat. Tak lupa dengan tepukan pelan dibahu Key
melengkapi acting Jae. Key melirik tangan Jae yang berada dibahunya. Dia
menepisnya.
“Gue nggak
peduli menang ataupun kalah di pertandingan kemarin. Yang gue tahu, seorang
Hades nggak main seperti kemarin. Cuma pakai emosi.” Ucap Key tajam. Tanpa
menunggu respon dari Jae, Key melangkahkan kakinya meninggalkan kelas.
Meninggalkan Jae yang masih mencerna perkataan Key. Siapa dia sebenarnya?
***
BRAK!
Jae membuka
pintu kamarnya dengan kasar. Tasnya terlempar ke sembarang tempat. Sedangkan
dia melemparka tubuhnya ke tempat tidurnya. Pikirannya masih terpenuhi
ucapan-ucapan Key. Dan itu membuatnya kesal.
Kenapa dia harus
bertemu dengan Key? Kenapa Key bisa mengetahui itu? Apa mereka pernah kenal
sebelumnya? Tidak! Jae tidak mengenalnya. Jae baru melihatnya dua kali. Ya,
hari ini sebagai Key murid baru di kelasnya dan kemarin di arena sebagai Black
Angel. Jae yakin itu.
“Aish!” Jae
menjambak rambutnya kesal.
Jae menyapukan
pandangannya ke seluruh sudut kamarnya. Inilah kamarnya, nuansa gelap
mendominasinya. Mewah tapi kosong. Seperti penghuninya. Tiba-tiba pandangan Jae
jatuh pada bingkai foto di atas meja samping tempat tidurnya. Itu adalah
satu-satunya foto yang ada di kamar ini. Tergambar jelas disana dua sosok cowok
yang saling merangkul dan tersenyum bahagia. Jae tersenyum miris melihatnya. Ia
masih ingat jelas kapan dan dimana foto itu diambil. Hari itu saat pertama
kalinya dia dan Ken, sahabatnya menang dalam arena balapan untuk yang pertama
kalinya. Setelah merayakan kemenangan, mereka berdua mengambil foto itu. Ya,
hanya mereka berdua.
“Ken, I miss you so bad. Where are you?”
Monolog Jae pelan. Karena ia tak tahu harus bertanya pada siapa.
Perlahan, Jae
menggerakkan jarinya di atas selimutnya. Ia mengeja satu persatu alphabet
hingga membentuk sebuah nama. Nama yang sangat ia hafal di luar kepalanya.
“K.E.N.L.Y.A.R.L.A.N.J.A.S.S.O.N.”
Ejanya sambil terus menggerakkan jarinya.
“Kenly Arlan
Jasson, my bro.” Ucap Jae pelan. Setelah mengucap nama itu, Jae tersentak.
Sesuatu mengentrupsi pikirannya. Jasson? Tunggu! Dia seperti mendengar nama itu
selain nama Ken.
“Keysha..Aryani..Jasson.”
Lafal Jae sambil mengingat. Ya! Nama Key. Mengapa mereka mempunyai nama
belakang sama. Apa hubungan mereka? Hanya kebetulankah? Semua pertanyaan
bercampur jadi satu. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas begitu saja dalam
pikiran Jae.
‘Nanti gue bakal kenalin lo sama saudara gue. Nanti
setelah kita pulang dari sini.’ Ucap Ken waktu itu. Ya, sebelum
kejadian itu terjadi.
Janji Ken terus
terulang dipikiran Jae. Seperti sebuah rekaman yang tak akan pernah berhenti.
Jae mencoba menutup telinganya. Berharap tak akan mendengar suara Ken lagi.
Cukup! Tak bisakan ini berhenti? Dia sudah ingat. Tak bisakah suara Ken hilang?
Jerit Jae dalam hati.
Dengan cepat, ia
langsung menyambar hoodienya kembali. Tak peduli dengan seragam sekolah yang
belum digantinya. Yang perlu dilakukan sekarang segera bertemu dengan Key.
Hanya dia yang bisa Jae tanya dimana keberadaan Ken sekarang. Agar Jae bisa
segera menebus kesalahannya.
Dengan motor
sportnya, Jae kembali membelah jalanan Jakarta. Ia tak peduli padatnya jalanan
waktu sore hari. Yang terpenting ia harus segera menemukan Key. Meski ia tak
tahu harus kemana dia pergi. Namun yang ia tempuh sekarang jalan menuju
sekolah. Ya, sekolah. Itu yang pertama menlintas dipikirannya tadi. Entah
kenapa ia sangat yakin, kalau gadis itu masih di sekolah.
Jae menghentikan
motornya di depan Ailangga. Pintu gerbang sudah dikunci. Itu artinya sudah tak
ada lagi siswa yang berada di dalam sekolah. Jae mengedarkan pandangannya ke
area sekitar sekolah. Halte, toko buku, toko aksesoris, kemudian…café. Ya, dia
menangkap objek yang dia cari. Juga masih dengan seragam sekolahnya, Key duduk
di café depan sekolah. Tanpa banyak berpikir lagi, Jae melangkah menuju café
itu. Sampai di dalam, dia langsung menghampiri meja dimana Key duduk.
“Lo ikut gue
sekarang!” Ucap Jae sambil menarik paksa tangan Key. Key yang awalnya tak
menyadari kedatangan Jae, tersentak ketika seseorang langsung menarik
tangannya. Refleks Key menghempaskannya.
“Lo nggak salah
orang?” Tanya Key sangsi. Ia masih ingat jelas pembicaraannya ketika di kelas
tadi.
“Gue nggak salah
orang, Keysha Aryani Jasson! Daripada gue bertindak lebih lanjut, mending lo
ikut gue sekarang!” Jawab Jae tanpa sadar menyebutkan nama Key secara lengkap
dengan kesal. Mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian di café itu.
“Setelah perdebatan
kita tadi, lo pikir gue mau begitu saja ikut sama lo? Hello..gue tahu lo masih
dendam sama gue.” Ucap Key masih duduk manis di kursinya. Jae menghela nafas
kasar. Ia tahu melakukan ini takkan mudah.
“Shut up! Just follow me! Okey?” Kali ini
tanpa basa-basi lagi, Jae langsung menarik tangan Key dan membawanya keluar
dari café. Ia tak peduli dengan tatapan kepo para pengunjung café . Jae baru
melepaskan tangan Key ketika mereka sudah berada di dekat motor Jae yang masih
terparkir di depan sekolahan.
“Naik!” Perintah
Jae setelah ia sudah duduk di motornya.
“Lo mau bawa gue
kemana?” Tanya Key masih tak mau naik.
“Naik, Key!”
Bentak Jae tanpa menjawab pertanyaan Key. Akhirnya, Key menuruti perintah Jae
dengan sangat terpaksa daripada mereka harus berdebat lagi di tempat umum.
“Pegangan yang
kenceng!” Ucap Jae masih dengan nada otoriternya.
“Nggak perlu. Lo
lupa siapa gue, Hades?” Tolak Key tepat di samping telinga Jae. Dengan tanpa
permisi, Jae menarik tangan kanan Key, meletakkannya pada perutnya dan menahannya
menggunakan tangan kirinya. Mau tak mau tubuh Key tersentak ke depan.
Menghantam punggung tegap Jae.
“Gue nggak lupa
siapa lo, Black Angel.” Ucap Jae. Key mencoba menarik tangannya, namun Jae
semakin menahannya. Setelah perlawanan Key sedikit mereda, Jae menghidupakan
motornya dan perlahan membawanya meninggalkan lingkungan sekolah.
***
Taman itu sudah
mulai sepi. Mungkin karena sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya.
Lampu-lampu taman sudah mulai menyala menyinari taman yang tak begitu luas itu.
Jae menghentikan motornya di sana. Di depan sebuah kursi taman. Tangan kirinya
masih menahan tangan Key. Perlahan, Jae melonggarkan genggamannya. Dan saat itu
pula, Key segera menarik tangannya. Key segera turun dan beralih duduk di kursi
taman. Sampai saat ini, ia masih tak mengerti kenapa Jae membawanya ke sini.
Tak mungkinkan dia rela mencarinya hanya untuk membahas pertandingan kemarin
malam? Kan masih ada esok hari.
“Dimana Ken?”
Pertanyaan Jae langsung membuat Key mendongak. Bukannya segera menjawab, Key
hanya menatap Jae kosong. Ia tak menyangka Jae langsung to the point.
“Gue tanya,
dimana Ken, Key? Lo pasti tahukan dimana dia sekarang?” Tanya Jae. Nadanya
meninggi. Sorot matanya tajam. Key sadar, Jae sudah tahu siapa dirinya
sebenarnya. Dan itu alasan mengapa seorang Jae mencarinya dan membawanya ke
sini. Untuk menanyakan saudara kembarnya, Ken.
“Jauh. Ken
berada di tempat yang jauh.” Jawab Key pelan. Dia harus bisa menahan semuanya.
Emosi dan sakit di hatinya. Dia harus tenang di depan Jae. Karena api tak bisa
di lawan dengan api pula.
“Jauh? Seberapa
jauh dia? Eropa? Amerika? Atau Afrika? Kasih tahu gue dimana Ken! Gue yakin
seberapa jauh dia sekarang, gue bisa menemukannya.” Ucap Jae percaya diri.
“Nggak. Lo nggak
bisa bertemu dengannya. Tidak juga dengan semua kekayaan lo. Karena
dia…Ken..dia…ada..di..” Ucapan Key terbata-bata. Sekarang Key menahan
airmatanya juga sesak di hatinya. Dia tak mampu menyebutkan dimana Ken berada.
“Ken dimana?!”
Tanya Jae jengah. Key menarik nafasnya dalam, kemudian menghembuskannya pelan.
Ia harus memberitahu Jae.
“Heaven.” Ucap Key pelan. Ia mendengar
Jae terkikik pelan.
“Heaven? Are you kidding me?” Tanya Jae
tak percaya. Menurutnya ucapan Key hanya candaan untuk membohonginya. Tidak
mungkinkan Ken sudah berada di surga?
“I’m not kidding you. Ken sudah ada di
surga.” Jawab Key lemah. Jae mematung. Tubuhnya bergetar hebat. Kemudian dia
terduduk tepat di depan Key.
“Please, tell me itu semua bohong. Ya
kan, Key? That’s joke, right? Please!”
Ucap Jae yang masih belum bisa menerima kenyataannya.
Key tak
mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya melihat Jae yang terpuruk di depannya.
Meski dengan nama dan sosok yang sama, Key melihat Jae yang saat ini di
depannya berbeda dengan Jae yang ditemuinya beberapa jam yang lalu. Jae yang
terduduk lemah dan Jae dengan semua sikap arogannya. Setelah mengamati Jae
dengan seksama beberapa menit, Key tersadar. Ada persamaan antara dirinya
dengan sosok yang masih terduduk di depannya itu.
Jae masih
bergulat dengan dirinya sendiri. Kali ini hati dan pikirannya tak sejalan.
Pikirannya menyuruhnya untuk menerima kenyataan yang baru saja dia dengar. Tapi
hatinya menolak. Ken masih di sini. Ken tidak mungkin berada di surga. Key
pasti bohong.
“Nggak..nggak
mungkin..” Jae masih saja mencoba mengingkari kenyataan. Bahunya tergoncang
hebat. Sosok Jae yang dingin benar-benar hilang. Jae sudah berada di titik
terendahnya.
Key melihat itu
dengan nanar. Ia sudah pernah berada di posisi Jae saat ini. Ia sangat bisa
merasakan apa yang sedang Jae rasakan saat ini. Key paham itu. Tanpa
berkompromi dengan otaknya, Key perlahan menghampiri Jae. Awalnya Key hanya
menepuk bahu Jae pelan. Mencoba menenangkannya. Namun diluar dugaan, Jae
langsung membalik tubuhnya dan mencari ketenangan di bahu Key. Menenggelamkan
kepalanya disana. Key yang tak menyangka akan mendapatkan pelukan tiba-tiba
dari Jae, hanya mematung. Ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun perlahan,
tangan Key mendekap lelaki itu. Anggap saja ini bantuan kecil dan semuanya demi
Ken.
“AH!” Teriak Jae
sambil menjauh dari Key.
“Jae?” Panggil
Key tak mengerti dengan apa yang dilakukan Jae sekarang. Tadi dia menangis,
sekarang dia berteriak-teriak tak jelas. Key mencoba mendekatinya.
“Stop! Berdiri di sana!” Teriakan Jae menghentikan
langkah Key.
“Jae, are you okay? Calm, Jae!” Ucap Key pelan
sambil terus mendekati Jae.
“Jangan
deket-deket gue. Gue pembunuh! Gue pembunuh! Ken pergi gara-gara gue. Gue
pembunuh Ken!” Jae terus menyalahkan dirinya. Pikirannya kalut. Kejadian malam
itu sekitar 2 tahun yang lalu berputar di kepalanya tanpa seijinnya. Menguasai
pikirannya dan membuatnya percaya, dialah yang membunuh sahabatnya.
Key tak sanggup
lagi jika harus melihat sisi depresi Jae yang lebih dari ini. Melihatnya
menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Ken sudah membuat Key ingin sekali
meminta Tuhan untuk menghidupkan Ken kembali dan mengatakan pada Jae ini bukan
kesalahannya. Key beranjak, mendekat Jae, kemudian memeluknya dari belakang.
Jae tersentak. Dia terdiam dari aksi menyalahkan diri.
“Jae, listen to me. You’re not killer. You’re
Ken’s bestfriend. Trust me. Okay?” Bisik Key menenangkan Jae. Jae sudah
mulai tenang perlahan. Dia kembali terduduk. Kembali dalam dekapan Key.
Hari sudah
semakin gelap. Key memperhatikan sekelilingnya. Taman sudah benar-benar sepi.
Key juga sudah mulai risih dengan tatapan beberapa orang yang kebetulan
melintas di depannya. Diperhatikannya sebentar Jae yang masih dalam dekapannya.
Matanya terpejam dan nafasnya teratur. Ah, mungkin dia tertidur. Biarlah
laki-laki itu tertidur di dekapnnya.
Diambilnya
perlahan ponsel di saku roknya. Ia tak ingin membangunkan Jae. Kemudian
dicarinya sebuah nomor di deretan kontaknya. Tak banyak nomor di ponsel itu.
Jadi dia menemukannya dengan mudah. Key segera menekan simbo hijau dilayar
ponselnya. Dan mendekatkan ke telinganya. Ia menunggu sebentar sampai terdengar
suara laki-laki paruh baya di seberang.
“Pak, jemput
saya di taman ujung komplek. Sekalian bawa orang buat ambil sepeda motor teman
saya.” Perintah Key singkat pada sopirnya. Setelah mendapat jawaban, Key
langsung mengakhiri panggilannya. Dimasukkannya kembali ponselnya.
Tanpa menunggu
lama, sebuah mobil audy hitam berhenti tak jauh dari Key berada. Dan keluarlah
2 lelaki yang segera menghampiri Key.
“Ini Non Bapak
bawakan orangnya.” Ucap Pak Joni, sopir Key. Key hanya mengangguk mengerti.
“Pak, Bapak
bantuin Key bawa teman Key ke mobil. Dan Masnya, tolong bawa motor itu.
Kuncinya ada di sana kok. Bawa ke rumah saja.” Perintah Key hanya di jawab
anggukan oleh Pak Joni dan mas-mas yang membantu Pak Joni. Tanpa bertanya lagi,
mereka segera melakukan apa yang diminta Key.
Dan tanpa Key
sadari, sepasang mata memperhatikannya dari jauh. Senyum bahagia tercetak di
wajahnya. Akhirnya dia bisa mendapatkan cara bagaimana menjatuhkan seorang Jae.
***
‘Nanti gue bakal kenalin lo sama saudara gue. Nanti
setelah kita pulang dari sini.’ Ucap Ken saat dia dan Jae duduk di pinggir
arena. Ya, malam ini mereka akan ikut balap liar seperti malam-malam biasanya.
Namun mala mini giliran Ken yang turun ke arena.
‘Lo punya saudara? Cewek? Kok nggak pernah cerita. Mana baru mau di
kenalin lagi. Kita udah temenan lama kali, Ken.’ Ucap Jae pura-pura marah.
‘Sorry deh, Jae. Belum ada waktu yang pas buat
ngenalin dia ke lo.’ Jawab Ken meminta maaf.
‘Waktu yang pas? Kayak mau perjodohan aja harus cari
waktu yang pas.’ Cibir Jae.
‘Ya, mungkin lo bakal tertarik gitu sama dia, setelah
lo kenal. Siapa tahu kan?’ Jawab Ken santai.
‘Kok ucapan lo kayak nyindir banget ya? Kok
rasa-rasnaya gue jomblo ngenes banget gitu.’ Kata Jae membuat Ken tak bisa
menahan tawanya.
‘Lo ngerasa, Jae? Padahal gue nggak bilang apa-apa
lho.’ Ucap Ken di sela tawanya.
‘Sialan lo, Ken.’ Hanya itu yang bisa Jae ucapkan
untuk membalas Ken. Setelah itu dia ikut tertawa.
Seperti itulah persahabatan mereka. Mereka
diperkenalkan di arena ini. Sebagai Hades dan Scorpion. Awalnya mereka ingin
tetap menyembunyikan identitas mereka seperti biasanya. Namun sepertinya takdir
berkata lain. Mereka akhirnya membuka identitas asli mereka. Sebagai Jae dan
Ken. Hanya mereka berdua yang tahu. Dan mulai saat itu, Jae dan Ken tak pernah
terpisahkan.
‘Jae, gue nanti titip dia ya?’ Ucap Ken setelah
mereka berdiam beberapa saat.
‘Dia? Saudara lo? Ya ampun Ken, gue aja belum kenal.
Belum lihat seperti apa orangnya. Lo udah maen titip-titipin aja. Lo gila apa
gimana? Lagian lo mau kemana?’ Jawab Jae santai. Ia anggap ucapan Ken hanya
candaan seperti biasanya.
‘Gue masih waras, Jae. Gue juga nggak kemana-mana. I’m still in
here. But, dia itu berharga banget buat gue. So, gue minta lo bantu gue buat jaga dia ya? Gue nggak bisa kalau njaga
dia sendiri. Okey, Jae? Gue nggak terima penolakan!’ Jelas Ken dengan nada
memaksanya. Mau tak mau Jae mengangguk meskipun ia masih mencerna semua
perkataan Ken. Jae merasa ada yang mengganjal.
‘Scorpion?!’ Panggilan seseorang mengalihkan
pembicaraan mereka berdua. Seseorang dengan tubuh gembul menghampiri Jae dan
Ken. Dia Dodo.
‘Apa, Do?’ Tanya Ken.
‘Lo udah ditunggu di garis start. Lo mainkan malam
ini?’ Jawab Dodo.
‘Ya jelaslah gue main. Jangan panggil gue Scorpion
kalau gue nggak main. Lo duluan aja kesana. Gue prepare dulu.’ Ucap Ken santai seperti biasanya.
Dodo hanya mengangguk dan kembali ke kerumunan depan garis start.
‘Lo serius main malam ini? Apa gue aja yang turun?’
Tanya Jae. Ia merasa ada yang tak beres.
‘Lo kenapa sih, Jae? Lo sangsi sama kemampuan
seorang Scorpion? Lagian jadwal lo turun tuh besuk. Ok? Now, let’s to
start. Gue udah nggak sabar buat main.’
Ucap Ken semangat. Dari nada bicaranya, siapapun yang mendengar yakin kalau Ken
baik-baik saja.
‘Ok! Let’s go!’ Ucap Jae akhirnya.
Kedatangan Ken dan Jae membuat kerumunan dekat garis
start sedikit menguak. Memberikan ruang untuk dua raja jalanan di arena itu.
Karena siapapun tahu siapa itu Hades dan Scorpion. Ken sudah siap di atas motor
sport hitamnya, sedangkan Jae masih setia berdiri di sampingnya.
‘Lo harus menang, Scorpion!’ Ucap Jae.
‘Gue udah tahu itu.’ Jawab Ken percaya diri sambil
memakai helmnya karena seseorang sudah berdiri diantara motor Ken dan lawannya.
Jae menepuk bahu Ken pelan sebelum ia mundur beberapa langkah ke bagian
penonton.
‘1..2..3 GO!’
Teriak orang itu lantang. Tanpa berkompromi lagi motor Ken dan sang lawan
melesat diikuti teriakan penonton di arena itu. Namun ada yang beda dengan Jae.
Dia tidak berteriak seperti biasanya ketika Ken sudah melesat sebagai Scorpion.
Malam ini Jae hanya menatap punggung Ken dengan tatapan kosong.
Sepertinya semua perasaan tak enak Jae terbukti
ketika tubuhnya menegang. Bungan api terlihat di ujung jalan. Sebuah motor juga
terpental jauh, pisah dengan sang punya. Motor hitam itu menabrak pembatas
jalan. Itu yang dilihat Jae. Ia mengenali sangat kenal motor itu. Semua orang
yang berada di arena itu berteriak histeris, tapi tidak dengan Jae. Ia tak bisa
berteriak. Jae langsung berlari ke ujung jalan. Ia tak peduli jika kakinya tak
bisa diajak kompromi. Yang ia pikirkan saat ini, ia harus cepat sampai di sana.
Dan memastikan kalau penglihatannya salah. Orang yang jatuh itu bukan Ken. Jae
mempercepat larinya.
Mungkin malam ini Tuhan punya cerita lain. Takdir
tak berpihak kepadanya. Dan penglihatannya menghianatinya. Lari Jae terhenti
ketika penglihatannya menangkap sosok yang sangat ia kenal dengan sangat jelas.
Helm, jaket, celana bahkan sepatu itu pun membuat Jae menahan nafasnya. Semua
tak seperti yang diharapkannya. Dia, Ken tergeletak tak berdaya. Cairan merah
sudah mewarnai aspal di sekitarnya. Jae langsung terduduk. Setelah mendapatkan
kesadarannya, Jae langsung melepas helm Ken. Ia ingin memastikan kalau Ken
baik-baik saja.
‘Ken…’ Panggil Jae sambil menepuk pipi Ken pelan.
Tak ada respon.
‘Ken..Wake up, please!’ Ucap Jae lagi tak menyerah. Ia masih saja mencoba menyadarkan Ken.
Perlahan, mata Ken terbuka.
‘J..Jae..’ Panggil Ken pelan memastikan.
‘Ken, lo bertahan ya, gue bawa lo sekarang ke rumah
sakit.’ Ucap Jae sambil mencoba mengangkat tubuh Ken. Namun, tangan Ken
menahannya. Ken tersenyum samar.
‘Sor..ry gu..e ng..ggak bi..sa te..patin j..jan..ji
gu..e.’ Ucap Ken terputus-putus.
‘Itu nggak penting. Sekarang kita ke rumah sakit.
Ok?!’ Jawab Jae. Ia masih tak mengerti kenapa Ken menahan tangannya.
‘I’m st..til in he..re.’ Ucap Ken lagi sangat pelan. Ia sudah mulai
kehabisan nafasnya.
‘Maksud lo? Are you stupid, Ken?’ Tanya Jae emosi. Ia semakin tak paham.
Belum sempat Ken menjelaskan apa maksudnya, dari
kejauhan terdengar bunyi sirine dan kelap-kelip lampu yang berasal dari mobil
polisi. Dari kejauhan juga terlihat orang-orang yang tadinya memenuhi arena
mulai kelimpungan untuk kabur. Jae dan Ken melihat itu.
‘Per..gi!’ Ucap Ken pelan sambil mendorong tubuh Jae
menjauh darinya.
‘Gue akan bawa lo pergi. Kita pergi sama-sama.’
Jawab Jae. Ken menggeleng.
‘No.
Lo per..gi se..ka..ra..ng, J..jae!’ Perintah Ken.
‘Nggak. Gue nggak bakal ninggalin lo sendiri di
sini, Ken.’ Ucap Jae menolak. Ken kembali menoleh ke garis start. Polisi-polisi
itu sudah mulai melangkah ke arahnya.
‘PERGI, JUNIOR!’ Ucap Ken sambil mendorong Jae
menjauh dengan sisa-sisa kekuatannya. Ia harus membuat Jae pergi dari sini.
Biarlah dirinya sendiri yang tertangkap polisi-polisi itu. Bukan Jae.
Mendengar Ken memanggilnya dengan nama lengkap,
membuat Jae sadar kalau perkataan Ken tak bisa diganggu gugat. Jae juga melihat
polisi-polisi itu semakin mendekat ke tempatnya dan Ken. Ia ingin pergi seperti
perintah Ken. Namun ia juga tak mungkin meninggalkan Ken sendiri di sini.
Apalagi dengan semua lukanya. Jae masih tak beranjak.
‘JAE, PERGI!’ Ucap Ken lagi sambil terus menendang
Jae.
Meski dengan berat hati, Jae akhirnya beranjak. Ken
mengibaskan tangannya. Menyuruh Jae untuk segera pergi. Jae pun mau tak mau
melangkahkan kakinya meninggalkan Ken yang masih tergeletak di sana. Jae
berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Melihat Ken. Namun tak dilihatnya
Ken lagi, karena polisi-polisi itu sudah membawa Ken pergi.
Jae lelah. Ia berhenti dibalik semak-semak. Ia
merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia lari? Kenapa ia meninggalkan Ken sendiri? Kenapa
ia tadi tak segera membawa Ken ke rumah sakit? Kenapa? Dan kenapa-kenapa yang
lain berputar di kepalanya.
‘KEN?!!!!!’ Teriak Jae membelah malam itu.
“KEN?!!!!!”
Teriakan Jae membuat Key segera berlari ke kamar Ken. Ya, Jae ia tidurkan di
kamar Ken.
“Ken..Ken..Ken..”
Jae terus memanggil Ken dalam tidurnya.
Key menghampiri
ranjang Ken, tempat Jae berbaring. Ia duduk di samping ranjang itu. Jae masih
terus memanggil nama Ken. Key mengusap pelan keringat yang memenuhi wajah Jae.
Ia juga menyibak rambut Jae yang turun ke dahinya. Key sangat yakin jika saat
ini Jae sedang memimpikan Ken. Key terus mengusap wajah Jae perlahan.
Setelah Jae
kembali tenang, Key membenarkan selimut Jae. Menariknya sampai bahu Jae. Namun
gerakannya berhenti, ketika tangan Jae meraih tangan Key. Key terdiam. Perlahan
mata Jae terbuka.
“Key..” Panggil
Jae setengah sadar.
“Hemm..” Jawab
Key sambil duduk di pinggir ranjang, samping Jae.
“Stay..” Pinta Jae pelan dan kembali
tertidur.
“I’m still in here.” Ucap Key mengusap
tangan Jae pelan. Entah kenapa Key saat ini harus tetap berada di sisi Jae.
Mungkin bukan hanya untuk saat ini, tapi juga nanti, besuk ataupun entah sampai
kapan. Yang Key tahu, Jae membutuhkan dirinya. Jae kembali bernafas teratur. Ia
kembali kedalam tidurnya yang tenang.
“Mimpi indah,
Jae.” Ucap Key memperhatikan Jae yang sudah terlelap.
Setelah
memastikan Jae benar-benar sudah terlelap, pandangan Key beralih pada foto Ken
yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Ken yang sedang tersenyum
merangkul Key.
“Jadi ini alasan
lo nyuruh gue buat nemuin dia? Lo pasti sudah tahu kalau dia bakal seperti ini
setelah tahu lo sudah pergi. Yakan?” Monolog Key pada foto Ken. Ya, menemui Jae
adalah permintaan terakhir Ken sebelum ia benar-benar pergi.
Key kembali
menatap Jae. Dia sudah benar-benar kembali ke alam tidurnya. Dia juga tak lagi
memanggil-manggil Ken. Key beranjak. Ia merapikan selimut Jae. Kemudian
perlahan melangkah keluar dari kamar itu. Selagi Jae tertidur, Key ingin
membersihkan dirinya sebentar dan meminta Bi Rani membuatkan makan malam
untuknya dan Jae.
***
Key membuka
pintu kamar Ken perlahan. Ditangannya sudah ada satu nampan berisi makanan dan
minuman untuk Jae. Kemudian dia menutup pintu dengan sikunya. Setelah pintu
sudah tertutup, ia mendongakkan pandangannya dari nampan yang dibawanya.
Sekarang ia mendapati Jae tidak lagi terbaring, dia sudah duduk di ranjang. Jae
mengamati kedatangan Key dengan tatapan yang sulit diartikan. Key melihat Jae
sudah bangun sedikit tersenyum.
“Ah, lo sudah
bangun?” Ucap Key sambil terus melangkah mendekat ke tempat tidur. Tak ada
respon dari Jae.
“Ini, gue
bawakan makan malam. Lo makan dulu ya?” Pinta Key meletakkan nampan berisi
makanan itu di depan Jae. Jae melirik makanan itu sekilas, tapi kemudian
netranya kembali menatap gadis di depannya. Banyak yang ingin Jae tanyakan
padanya. Tapi Jae bingung darimana ia harus memulai.
“Jae?” Panggil
Key pelan merasa tak ada respon dari Jae.
“I..ini kamar
Ken?” Tanya Jae akhirnya. Key tersontak sebentar, tapi kemudian ia mengangguk.
“Ken dimana?”
Tanya Jae masih saja belum percaya dengan apa yang didengarnya beberapa jam
yang lalu.
“Jae?” Ucap Key
seperti mengatakan bahwa semuanya tidaklah berubah. Jawabannya masih sama
dengan beberapa jam yang lalu.
“Kapan?” Tanya
Jae lagi. Kali ini dengan tatapan sendunya. Lupakan dengan nampan yang berisi
makanan. Karena nampan itu tak akan tersentuh. Jae tidak lapar. Dia hanya butuh
penjelasan.
“Satu minggu
setelah dia dibawa ke rumah sakit. Dia koma, kemudian tersadar di hari ke-6.
Setelah mengucapkan permintaannya ke gue, dia kembali tertidur untuk selamanya.”
Jelas Key berusaha menahan airmatanya. Ia tak ingin menangis lagi. Cukup 2
tahun yang lalu. Saat ini tugasnya untuk menenangkan Jae.
“Kenapa..kenapa
nggak ada yang kabarin gue?” Protes Jae yang mati-matian juga menahan air
matanya. Ia tak ingin menangis di depan gadis ini. Ia tak ingin melihatkan sisi
lemahnya lagi.
“Gue nggak tahu
lo dimana. Dan gue juga baru tahu kalau Ken punya sahabat setelah dia
mengucapkan permintaannya.” Jawab Key. Ia harus tetap tenang.
“Permintaan?”
Pertanyaan Jae dijawab anggukan pelan Key.
“Dia minta ke
gue buat nemuin lo. Katanya dia punya janji sama lo. Sorry, gue baru bisa
ketemu lo sekarang. Setelah pemakaman Ken, gue langsung terbang ke Bali buat
nenangin diri. Dan malam itu akhirnya gue bisa nemuin lo di arena itu.” Jelas
Key panjang lebar. Airmatanya ternyata menghianati Key. Mereka sudah membasahi
pipi Key.
Melihat Key
menangis, Jae langsung menggeser nampan makanan ke sisi ranjang yang lain.
Menghapus jarak antara dirinya dengan Key. Jae langsung merengkuh tubuh Key ke
dalam dekapannya. Dan pecahlah isakan Key di dada bidang Jae. Key mengingkari
janjinya pada Ken. Malam ini ia menangis lagi untuk Ken. Jae mengusap punggung
gadis itu pelan. Bermaksud untuk menenangkannya. Tapi, airmatanya juga
menghianatinya. Ia juga menangis dalam diam. Bahkan airmatanya sudah membasahi
puncak kepala Key.
“Sorry, this is my fault. Seharusnya gue
nggak ninggalin Ken malam itu. Seharusnya gue nahan dia buat main malam itu.
Atau seharusnya gue langsung bawa dia ke rumah sakit. Seharusnya itu yang gue
lakuin malam itu. Maafin gue, Key..maafin gue.” Ucap Jae menahan emosinya. Ia
kembali menyalahkan dirinya sendiri. Key keluar dari dekapan Jae. Dia kemudian
memandang Jae dalam.
“Cukup, Jae.
Cukup lo nyalahin diri lo sendiri. Semua ini bukan kesalahan lo. Ken pergi,
mungkin udah jalannya untuk pergi. Mungkin kalau lo ngelakuin semua yang lo
katakan tadi malam itu, kalau Tuhan udah nulis cerita Ken pergi malam itu maka
dia juga pergi. Ada atau tidaknya lo. So, berhenti nyalahin diri lo dan mulai
ikhlasin Ken.” Ucap Key pelan tak mengalihkan pandangannya pada iris coklat
milik Jae.
“Gue nggak
bisa.” Ucap Jae lemah. Ia tak yakin bisa ngikhlasin Ken. Cerita kepergian Ken
saja dia belum bisa menerima, apalagi harus mengikhlaskannya.
“Bisa. You can do it. Kita buat bahagia Ken
disana ya?” Ujar Key dengan suara lembutnya.
“Kita?” Tanya
Jae memastikan ia tak salah mendengar.
“Yes, our. I’m still in here, beside you, and
stay with you. I’m promise.” Jawab Key yakin. Tak lupa senyum manisnya yang
menghiasi ucapannya.
Jae terhenyak
mendengar kalimat itu. Ia tak percaya Key akan mengucapkannya setelah apa yang
ia lakukan pada Ken. Dan senyum itu, senyum itu mengingatkannya pada senyum Ken
waktu itu. Senyum yang menyiratkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Perlahan
Jae ikut tersenyum. Kembali ia merengkuh Key kedalam pelukannya.
“Thanks.” Bisik Jae tepat di samping
telinga Key.
“You’re welcome.” Jawab Key sambil
menarik tubuhnya.
“Sekarang lo
makan ya?” Ucap Key sambil mengambil nampan yang tadi di sisihkan Jae.
“Lo?” Tanya Jae.
“Gue udah makan
tadi waktu lo tidur.” Jawab Key menyodorkan satu suapan kearah Jae.
“Gue bisa makan
sendiri.” Ucap Jae kembali dengan nada dingin sambil merebut sendok dan piring
dari pangkuan Key. Key tak tersinggung dengan ucapan ketus Jae. Dia justru
tersenyum melihat Jae yang sudah memakan makananannya dengan lahap. Karena Key
sudah tahu seperti apa Jae yang sebenarnya.
“Ngapain senyum-senyum
gitu? Mau? Atau lo baru sadar kalau makhluk yang ada dihadapan lo ini cakep?
Ati-ati lo bisa jatuh cinta sama gue.” Ucap Jae sambil terus mengunyah.
“Pe-De banget
sih lo? Gue seneng aja bisa lihat dua Jae dalam satu hari ini.” Jawab Key
dengan senyum menggodanya. Kemudian terkekeh kecil. Jawaban itu membuat Jae
menghentikan aktivitas makannya dan menoleh pada Key dengan tatapan
mematikannya. ‘Jangan ungkit-ungkit itu!’ Mungkin itu yang tersirat dalam
tatapan mata Jae. Merasakan mendapat peringatan, Key menghentikan kekehannya.
“Udah-udah,
lanjutin makannya. Kalau kurang, gue ambilin lagi.” Key mengalihkan
pembicaraan.
“Emang lo kira
gue apaan nasi sepiring masih kurang?” Tanya Jae dengan tatapan menyipitnya.
“Kan cuma kalau,
Jae.” Jawab Key dengan cengirannya. Dan tanpa aba-aba mereka tertawa bersama.
Hari ini, mereka
berdua sama-sama melihat dua sosok yang berbeda dengan nama yang sama. Hari ini
hari pertama mereka bertemu, tapi mereka sudah saling mengetahui sisi terlemah
antara mereka berdua. Dan mungkin besuk, cerita baru akan mereka mulai. Entah
cerita apa yang akan terjadi besuk. Yang jelas, mulai saat ini mereka sudah
tidak berjalan sendiri-sendiri lagi.
***
Pagi ini
Airlangga sudah digemparkan dengan pandangan baru yang tak pernah terbayangkan
akan terjadi. Seorang Jae yang tak pernah tersentuh oleh siapapun berajalan
berdampingan dengan Key yang notabene masih murid baru di Airlangga. Dan jangan
lupakan senyum Jae yang menghiasi wajah bak malaikatnya dan tawa renyahnya yang
sesekali keluar di sela obrolannya dengan Key. Bisa dipastikan seluruh siswa
Airlangga yang melihat itu yang menatap tak percaya. Semua tahu siapa dan
bagaimana Jae 1 tahun ini. Dan dia berubah katakan hanya dalam 1 malam. Meski
masih banyak yang menatap mereka berdua dengan tak paham, tapi tak bisa
dipungkiri juga bertambah banyak yang menatap Jae dengan tatapan terpesonanya.
Banyak siswi Airlangga yang berpikir, Jae bersikap dingin seperti biasanya saja
sudah membuat mereka menahan nafas apalagi sekarang dengan Jae yang tersenyum
bisa-bisa mereka berhenti bernafas saat itu juga. Ya walaupun mereka tahu Jae
tersenyum untuk gadis yang berjalan di
sampingnya.
“Wuih..ada
pemandangan baru nih?” Ucap seseorang yang sudah berdiri di depan Jae dan Key
sontak membuat mereka berdua menghentikan langkahnya. Dia adalah Ajun. Bukan
hanya Jae dan Key yang berhenti karena ucapan Ajun, tapi juga siswa Airlangga
yang berdiri tak jauh dari mereka bertiga. Intinya mereka bertiga menjadi pusat
perhatian.
“Mau apa sih
lo?” Ucap Key sinis. Dia tak pernah tertarik dengan lelaki yang berdiri
dihadapannya sekarang sejak dia memaksanya untuk berkenalan kemarin.
“Santai, calm, woles. Gue nggak bermaksud apa-apa
kok. Gue cuma heran aja seorang Jae yang biasanya datang dengan muka dinginnya
dan tak tersentuh, pagi ini datang dengan seorang cewek yang masih berstatus
murid baru. Emangnya hanya dengan semalem kalian berdua bisa langsung deket
ya?” Ucap Ajun santai bermaksud memancing emosi Jae. Namun, bukannya langsung
melawan ucapan Ajun, Jae justru hanya melemparkan senyum miringnya.
“Sejak kapan ada
yang berani nyampurin urusan gue? Denger ya, mau gue datang sendiri kek, mau
gue pasang muka dingin kek, atau mau gue jalan sama Key, itu terserah gue.”
Ucap Jae tepat di depan wajah Ajun. Jae tak peduli jika sekarang dia sedang
berbicara dengan kakak kelasnya. Yang dia pedulikan, ia terganggu jika ada
orang yang ikut campur dalam urusannya. Setelah mengatakan itu, Jae langsung
menarik tangan Key dan melangkah pergi melewati Ajun. Bermaksud melanjutkan perjalanannya
ke kelas.
“Lo semua tahu
siapa Hades dan Scorpion?” Teriak Ajun lebih nyaring daripada yang sebelumnya.
Dan teriakan itu lagi-lagi membuat Jae dan Key menghentikan langkahnya tepat di
belakang Ajun.
Semua siswa yang
ikut berdiri di halaman Airlangga pagi ini hanya menjawab dengan anggukan. Ya,
semua mengenal atau tepatnya tahu siapa itu Hades dan Scorpion. Pembalap liar
yang secara tak langsung dinobatkan sebagai raja jalanan. Mereka hanya tahu
sebatas itu tanpa tahu siapa sebenarnya Hades dan Scorpion itu. Jae menegang,
genggamannya pada tangan Key semakin mengencang. Key yang sadar akan hal itu,
segera menepuk pelan punggung tangan Jae dengan tangannya yang bebas. Mencoba
menenangkan Jae.
“Lo semua masih
ingat kejadian 2 tahun yang lalu? Malam itu di arena tempat balapan mereka
terjadi penggrebekan. Tapi masalahnya bukan itu. Kalian juga tahu kan, kalau
malam itu juga terjadi kecelakaan yang membuat Scorpion meninggal setelah koma
1 minggu? Dan kalian juga pasti pernah denger kalau Hades malam itu tidak di
temukan berada di sana. Padahal semua orang tahu, dimana ada Scorpion disitu
pasti juga ada Hades. Ya kan?” Ajun mengeluarkan pernyataan dan pertanyaannya
dengan semangat. Jae dan Key juga masih berdiri di tempatnya. Bukannya mereka
ingin mendengar semuanya omongan Ajun, namun kaki Jae seperti menghianati sang
pemilik, tak bisa di gerakkan. Melihat Jae yang masih berdiri di tempatnya,
membuat Ajun semakin bersemangat melancarkan aksinya.
“Gue yakin nggak
banyak diantara kalian yang tahu kenapa Hades nggak ada malam itu. Gue denger
dari temen gue, malam itu Hades kabur. Ia meninggalkan Scorpion, sahabatnya
tergeletak tak berdaya di jalan. Ia lari begitu saja. Ia lebih memilih
menyelamatkan dirinya sendiri daripada membawa Scorpion ke rumah sakit. Orang
macam apaan dia? Bukannya secara tidak langsung dia yang membunuh Scorpion?”
Lanjut Ajun semakin gencar. Dan bersamaan dengan itu genggaman Jae ditangan Key
merenggang. Dan Jae jatuh terduduk. Airmukanya sudah berubah. Tak ada lagi
tampang dinginnya. Tergantikan wajah ketakutan yang kembali muncul. Ajun yang
mengetahui hal itu, segera melangkah menghampiri Jae. Ia tersenyum sinis. Semua
berjalan sesuai rencananya. Dia akan memperlihatkan kepada semua orang di
Airlangga bagaimana seorang Jae sebenarnya.
“Lo kenapa Jae?
Lo ngrasa? Lo ngarasa sudah membunuh Scorpion, HADES?!” Ucap Ajun dengan
menekankan kata Hades. Semua mata langsung tertuju pada Jae yang sudah
menggigil ketakutan dan menutup telinganya. Mereka baru tahu kalau Hades selama
ini berada di tengah-tengah mereka dengan nama Junior Hansa Leonardo. Melihat
keadaan Jae yang semakin buruk, Key yang tadinya masih berdiri langsung
terduduk di samping Jae. Dia langsung mendekap Jae. Tak dipedulikannya
tatapan-tatapan sinis bahkan tatapan merendahkan karena ia dengan berani
melakukan itu di depan umum.
“Calm, Jae. I’m still in here. Don’t afraid
okay?” Bisik Key menenangkan Jae. Perlahan nafas Jae mulai teratur.
“Sahabat macam
apaan lo? Lo nyelametin diri lo sendiri, sedangkan Scorpion yang sedang diambang
batas hidupnya lo tinggalin begitu saja. Lo pembunuh! Lo pembunuh Scorpion! Dan
selama ini lo sembunyi. Sembunyi dibalik tampang dingin lo. Sembunyi dibalik
nama ‘Leonardo’. But, see? Sekarang
semua sudah tahu siapa lo. Lo pembunuh sahabat lo sendiri, Jae!” Teriak Ajun
tepat di depan Jae. Memang seperti inilah yang dia inginkan. Membuat seorang
Jae jatuh sejatuh-jatuhnya. Mendengar semua ucapan Ajun, Jae kembali mengingat
semua kejadian 2 tahun yang lalu. Ia kembali menggigil ketakutan. Suara-suara yang
menyerukan kalau dia pembunuh Ken memenuhi pendengarannya.
“Lo pembunuh,
Jae! P.E.M.B.U.N.U.H!” Ajun semakin menekan setiap hurufnya. Ia belum puas.
“Gue pembunuh!
Gue pembunuh, Ken! Gue pembunuh!” Kalimat-kalimat it uterus berulang keluar
dari mulut Jae. Dari yang awalnya pelan, mengeras dan semakin keras. Jae
benar-benar kembali depresi. Ia kembali menyalahkan dirinya. Semua tak
menyangka akan melihat Jae seperti itu. Jae yang biasanya berdiri tegak, kini
sedang terduduk lemah, menggigil, menjambak rambutnya bahkan airmata keluar
dari mata coklatnya. Seperti bukan Jae yang paling disegani di Airlangga.
“Ya, lo
pembunuh!” Ucap Ajun dengan seringainya. Ia berhasil.
“Cukup!
Hentikan!” Teriak Key lebih pada Ajun. Ia tak bisa melihat Jae seperti ini. Dia
benar-benar membenci laki-laki yang sedang berdiri dengan santainya. Bahkan
tertawa melihat Jae yang masih terus menyalahkan dirinya. Tatapan Ajun beralih
pada Key.
“Sorry, gue
melupakan lo.” Kata itu sukses membuat Key memicingkan matanya.
“Lo! Keysha
Aryani Jasson alias Black Angel kembaran Kenly Arlan Jasson alias Scorpion,
nggak usah sok care sama dia! Cara lo udah basi. Berpura-pura baik untuk
membalas dendam. Nggak ada cara lain apa?” Lagi-lagi ucapan Ajun membuat siswa
Airlangga tercengang. Begitu juga Key. Darimana manusia satu itu bisa
mengetahui identitasnya, Jae bahkan Ken.
“Apa? Balas
dendam? Nggak usah sok tahu lo!” Bantah Key tak terima.
“Hey, come on! Nggak usah mengelak. Gue udah
tahu kok. Nggak mungkin kali setelah kembaran lo meninggal, justru lo care sama
pembunuhnya. Lo cuma mau balas dendam. Gue banar kan?” Jelas Ajun percaya diri.
Meskipun Jae dalam kondisi depresinya, namun dia masih sangat jelas untuk
mendengar bahkan mencerna apa yang dikatakan Ajun. Key hanya ingin balas
dendam. Jae menatap Key tajam.
“Jae..trust me!” Ucap Key pelan. Ia mencoba
kembali mendekap Jae. Namun Jae menepis lengannya. Dari sorot matanya, Key bisa
tahu Jae benci padanya.
“Gue pembunuh,
Ken. Lo pembohong. Key pembohong.” Ucap Jae secara berulang dengan kalimat yang
sama.
“Gue nggak
bohong, Jae. Jangan dengerin apa yang dikatakan dia.” Key mencoba menjelaskan.
Namun Jae sudah menutup telinganya. Dia menolak mendengarkan penjelasan Key.
“JAE!” Teriak
Key ketika tiba-tiba Jae bernjak dan berlari meninggalkan kerumunan itu. Key
juga langsung ikut berdiri. Ia menatap Ajun sekilas yang sedang tertawa penuh
kemenangan. Bahkan ia tak sempat mengeluarkan sumpah sarapahnya untuk laki-laki
yang sudah berhasil membuat Jae kembali depresi. Key langsung berlari mengejar
Jae. Ia tak ingin kehilangan jejak Jae.
Key terus
berlari. Tak lupa ia juga teriakkan nama Jae yang berlari 1 meter di depannya.
Jangankan berhenti, menolehpun Jae tak mau. Key tak menyerah. Ia terus berlari
mengikuti Jae. Meskipun ia belum mengenal betul Airlangga, namun ia tahu tangga
ini menuju kemana. Rooftop. Tak dipedulikannya bel masuk yang sudah berbunyi
nyaring.
“J,,jae?!”
Panggil Key pelan sambil mengatur kembali nafasnya. Sekarang yang dilihatnya
Jae sudah berdiri diatas pagar pembatas. Jae tak menoleh. Ia masih menatap
kosong ke bawah.
“Jae, turun ya?”
Bujuk Key mengulurkan tangannya. Kali ini Jae menoleh. Ketakutannya masih
tergambar jelas diwajah sempurnanya. Dia hanya menatap Key tanpa bicara.
“Jae, I’m still in here, beside you and stay with
you. Remember?” Bujuk Key lagi. Ia tak ingin kehilangan untuk kedua
kalinya.
“Lo bohong! Lo
cuma mau balas dendam, kan?” Ucap Jae dengan tatapan sendunya.
“Itu semua nggak
bener. Gue nggak ada niat buat balas dendam. I’m relly care with you. Please, trust me!” Jelas Key memohon. Jae
menatap Key sebentar. Ia mencoba mencari kejujuran dimata gadis itu. Dan ia
menemukannya disana.
“Gue pembunuh,
Ken! Gue memang seharusnya mati disini!” Ucap Jae kembali membalikan tubuhnya.
Merasa Jae sedikit
lengah, Key langsung menarik Jae. Dan akhirnya mereka berdua sama-sama terjatuh
ke lantai semen rooftop. Key langsung terduduk dan mendekati Jae yang jatuh tak
jauh darinya. Dia langsung merengkuh tubuh besar Jae. Menenangkannya dalam
dekapannya. Tak dipedulikan seragamnya yang sudah kotor. Tubuh Jae masih
bergetar hebat di dalam dekapan Key.
“Shhtt..I’m still in here, Jae.” Lagi-lagi
kata-kata itu yang diucapkan Key. Dan entah mengapa setelah mendengar kata itu,
Jae berangsur tenang. Bagaikan sebuah mantra yang membius Jae.
“Gue pembunuh.
Ken, pergi gara-gara gue.” Ucap Jae pelan tak luput dengan isakan kecilnya. Key
merenggangkan dekapannya. Di lihatnya wajah Jae. Airmata sudah mengalir
membasahi wajah tampannya. Dengan perlahan, Key mengusap airmata itu dengan ibu
jarinya.
“Jangan percaya
dengan semua omongan Ajun. Lo bukan pembunuh. Ken pergi bukan gara-gara lo. Just trust me, Jae.” Ucap lembut Key
sambil membawa kembali Jae kedalam dekapannya. Setelah itu tak terdengar lagi
suara Jae. Yang terasa hanya hembusan nafasnya yang teratur. Key melirik
sebentar. Dan benar saja, Jae sudah tertidur.
Key perlahan
menggeser duduknya. Setelah dirasa posisinya sudah tepat, ia lantas meletakkan
kepala Jae dipangkuannya. Biarlah Jae tertidur seperti ini. Key mengamati Jae
dengan seksama. Tangannya megusap wajah tampan itu dengan perlahan. Tak lupa ia
menyingkirkan helaian rambut yang jatuh ke dahi Jae. Key berharap usapan
lembutnya bisa menghilangkan ketakutan yang masih tergambar jelas di wajah itu
meskipun sang pemilik sudah terpejam. Jujur, Key lebih suka melihat Jae dengan
tampang dinginnya seperti saat mereka pertama kali bertemu. Daripada harus
melihat Jae dengan wajah ketakutannya. Key tak mau lagi melihat itu. Tangan
lembut Key beralih ke kening Jae. Key mengusap pelan kerutan yang tercipta
disana. Dan perlahan, kerutan itu menghilang. Sekarang wajah damailah yang
tergambar diwajah tampan itu. Jae sudah benar-benar tertidur.
“Seperti janji
gue, Jae. I’m still in here with you.”
Ucap Key pelan.
***
Bel panjang yang
menandakan istirahat berbunyi nyaring. Suara itu berhasil membuat Jae
mengerjapkan matanya secara perlahan. Mencoba beradaptasi dengan silau yang
sudah menyambutnya. Perlahan matanya terbuka. Dan yang pertama kali dilihat
adalah wajah manis milik Key yang sedang tersenyum. Sadar kalau dia tidur
dipangkuan Key, Jae segera bangun dan duduk berhadapan dengan gadis itu.
“Sorry. Pasti pegel ya?” Tanya Jae pelan.
Mendengar pertanyaan Jae membuat Key tersenyum. Setidaknya ia tahu Jae sudah
kembali membaik.
“No problem.” Jawab Key santai.
“Ini udah
istirahat? Jadi gue udah tidur hampir 3 jam?” Tanya Jae lagi. Key hanya mengangguk.
“Ah! Kenapa gue
selalu tertidur dalam dekapan lo?” Pertanyaan itu lebih menjurus pada diri Jae
sendiri. Key menggeleng pelan.
“Terlalu nyaman
kali.” Ucap Key kemudian sambil tersenyum jahil. Jae mengangguk membenarkan.
Ya, dekapan Key adalah tempat ternyaman Jae untuk 2 hari ini. Dan mungkin untuk
waktu yang lama nantinya.
“Jae?” Panggil
Key pelan.
“Hmm..” Jawab
Jae.
“Turun yuk?”
Ajak Key hati-hati. Key tahu kalau Jae belum siap untuk turun maupun ke
kelasnya karena kejadian tadi pagi. Hening. Tak ada persetujuan atau penolakan.
Yang ada Jae hanya diam menunduk.
“Gue takut.”
Ucap pelan Jae akhirnya.
“Why?” Seharusnya itu pertanyaan retoris.
Key tahu, sangat tahu alasannya.
“Mereka sudah
tahu bagaimana gue tadi pagi. Dan gue belum siap melihat tatapan-tatapan cemooh
mereka.” Jelas Jae.
“Jae, look me!” Pinta Key. Jae mengangkat
wajahnya dan menatap Key.
“Everything gonna be alright, Jae. Kita
turun. Lo harus hadapin semuanya. Lo nggak bisa lari lagi. Lo harus buktiin ke
mereka kalau Jae benar-benar orang yang kuat. Jangan lo tunjukin sisi lemah lo
lagi.” Ucap Key membujuk Jae.
“Tapi, Key..”
Jae menggantungkan kalimatnya.
“Lo masih ingat
janji gue kan? I’m still in here, beside
you.” Ucap Key dengan senyumnya.
“Thank’s for a lot.” Ucap Jae ikut
tersenyum.
“So? Kita turun ya? Balik ke kelas. Kita
udah bolos 2 mata jam pelajaran.” Tanya Key sekali lagi. Dan akhirnya Jae
mengangguk pelan. Meski masih ada ketakutan dalam dirinya. Tapi ia harus
percaya pada Key yang akan selalu bersamanya.
Key beranjak
berdiri sambil menyambar tasnya yang tergeletak tak jauh darinya. Setelah itu
ia membersihkan rok abu-abunya yang sedikit kotor. Karena ia duduk tanpa alas.
Setelah merasa bersih, ia ulurkan tangannya di depan wajah Jae. Tanpa menunggu
perintah lagi, Jae langsung menerima uluran itu dan beranjak berdiri. Jae
segera membersihkan seragamnya dan menyambar tasnya. Merekapun berjalan menuju
pintu rooftop tanpa melepas genggaman ditangan mereka.
Sepanjang
koridor dari tangga rooftop, Jae bisa merasakan tatapan berbeda dari siswa
Airlangga. Bukan lagi tatapan terpesona seperti hari-hari sebelumnya. Sekarang
tatpan itu telah berganti menjadi tatapan cemooh, tatapan merendahkan bahkan
tatapan kasihan. Semua itu tertuju pada seorang Jae. Nama Jae sudah benar-benar
hacur. Bagaimana tidak jika selama ini dia dikenal dengan Cold Prince, tadi
pagi semua orang melihat sisi terlemahnya dan dengan cerita masa lalu yang tak
pernah terbayangkan. Jae semakin mengeratkan genggamannya pada tangan kecil
milik Key.
“Ow..ow..oww..Setelah
tadi kabur, sekarang masih berani muncul di sini? Nggak punya malu sih.” Suara
itu terdengar lagi. Siapa lagi kalau bukan suara Ajun yang menggelegar memenuhi
koridor. Dan di sinilah dia berdiri sekarang. Tepat di depan Jae dan Key.
Senyum kemenangannya tak luntur dari wajahnya. Jae beringsut ke belakang Key.
“Gue baru tahu
kalau ternyata lo punya hobi bergosip ya? Kenapa nggak sekalian pakai rok? Apa
perlu gue pinjemin rok gue?” Ucap Key dengan nada sinisnya membuat Ajun geram.
“Perlu lo tahu,
semua yang gue ucapin tadi pagi itu bukan gossip. Itu fakta, Key.” Jawab Ajun
sedikit meninggi.
“Oh fakta ya?
Tapi sayangnya itu fakta yang salah. Kalu nggak tahu yang sebenarnya terjadi,
lebih baik shut up!” Cibir Key.
“Lo kembarannya
Scorpion, kenapa lo ada dipihaknya?” Tanya Ajun sambil menunjuk Jae yang masih
saja menunduk.
“Karena dia
sahabatnya, Ken. Orang yang berarti buat kembaran gue. So, orang yang berarti
but hidup Ken juga berarti buat gue. Paham?!” Ucap Key membuat Ajun terdiam.
Semua mata tertuju padanya.
“Ajun Mahardika,
kakak kelas gue yang paling terkenal di Airlangga, gue saranin ya nggak usah
ikut campur urusan orang, nggak usah bicara kalau lo nggak tahu sebenarnya yang
terjadi bagaimana, dan nggak usah sok nyimpulin perilaku orang lain hanya
menurut pendapat lo emangnya lo siapa? Peramal? Just shut up dan nikmati hidup lo aja, okey?” Ujar Key panjang
lebar yang berhasil membuat Ajun benar-benar bungkam.
“Dan buat lo
semua siswa Airlangga, nggak usah natap Jae seperti itu! Dia nggak sakit, dia
juga nggak gila. Dia hanya sedang mencoba berdamai dengan masa lalunya. So, buang semua tatapan kalian!” Teriak
Key lantang. Tak peduli jika dia masih berstatus sebagai murid baru di
Airlangga. Dan mungkin sebentar lagi namanya akan banyak di sebut. Dan spontan,
semua pasang mata mengalihkan pandangannya dari mereka bertiga.
“Ah, kenapa mood
sekolah gue hari ini tiba-tiba hilang ya? Mungkin gue butuh sedikit udara
segar. Yuk Jae, kita pergi aja. Bolos sehari saja nggak masalah kan?” Ajak Key
hanya dijawab anggukan Jae. Akhirnya Key menarik tangan Jae meninggalkan
koridor, meninggalkan Ajun yang masih berdiri di sana. Mereka melangkah bukan
ke kelas, melainkan ke parkiran.
***
“Hai, Ken? How are today? Sorry, gue udah lama
nggak ngunjungin lo. Lo bahagiakan di sana?” Sapa Key sudah dengan suara
lembutnya di depan sebuah gundukan tanah yang sudah tertutup rumput hijau
dengan rapi. Makam Ken. Key melirik ke orang yang duduk di sebelahnya. Dia
hanya diam. Pandangannya lurus tertuju pada nisan yang tercetak nama ‘Kenly Arlan
Jasson’.
“Ken, gue udah
nglakuin permintaan lo. Dan sekarang gue bawa dia ke hadapan lo. Kurang baik
apa coba gue? Tapi, lo masih tega ninggalin gue.” Ucap Key miris. Dia mengusap
airmatanya kasar. Ia tak ingin menangis di depan Ken. Ia kembali menoleh pada
Jae. Kemudian menyenggol lengan lelaki itu pelan sampai sang punya lengan
menoleh.
“Lo nggak
berniat nyapa sahabat lo?” Tanya Key. Jae tak menjawab. Ia kembali menolehkan
pandangannya ke nisan di depannya.
“Hai, My
Bro? Are you happy? I wish that. I miss you so bad, Ken. And…sorry for all.”
Ucap Jae pelan kemudian menunduk.
“Ken, kita pergi
dulu ya? Gue janji akan sering jengukin lo. Love
you, Ken.” Pamit Key beranjak berdiri. Ia juga menarik Jae untuk berdiri.
Ia tak ingin Jae kembali sedih.
“Pulang?” Tanya
Jae saat mereka berdua sudah sampai di dekat motor hitam Jae.
“Males pulang.”
Jawab Key singkat.
“Ya udah mau
kemana?” Tanya Jae lagi. Sebenarnya ia juga malas pulang.
“Kita
jalan-jalan saja bagaimana? Keliling Jakarta.” Usul Key semangat.
“Ok!” Setuju Jae
sambil mengacak rambut Key. Jae langsung memasang helmnya sebelum Key membalas
mengacak rambutnya.
Jae segera naik
ke motor sport-nya dan diikuti Key yang duduk dibelakanya. Ia kembali teringat
saat menjemput paksa Key dari café depan Airlangga. Dengan posisi yang sama.
Bedanya sekarang, tangan Key sudah melingkar manis diperutnya. Jae tersenyum
ingin menggoda Key. Ia memiringkan sedikit kepalanya untuk menoleh pada Key di
belakangnya.
“Lo masih, Black
Angel?” Tanya Jae jahil. Key langsung paham kemana arah pembicaraan mereka. Dia
langsung menepuk bahu Jae lumayan keras.
“Ya jelaslah,
gue masih Black Angel. Apa lo mau tanding lawan gue lagi, Hades?” Balas Key
dengan kekehannya.
“Emh..bisa
dipertimbangkan nanti.” Jawab Jae kembali memutar tubuhnya menghadap depan.
Tanpa
pembicaraan lagi, Jae segera menghidupkan mesin motornya dan melajukannya
dengan sedikit kecepatan. Ia masih merasakan sepasang tangan yang melingkar di
perutnya. Dan sekarang ia juga merasakan kepala yang bersender pada punggung
tegapnya. Itu berhasil membuat Jae tersenyum bahagia.
Jae bahagia dan
sakit secara bersamaan. Ketika kenyataan memberitahukan kepergian Ken, di saat
yang sama Tuhan mendatangkan Key. Jae selalu menjadi Jae yang lemah di depan
Key. Tapi dengan semua kata lembutnya dan dekapan hangatnya mampu membuat Jae
kembali tenang. Key tak meninggalkannya meskipun ia sudah menjadi seperti orang
gila dengan semua ketakutannya. Bahkan dengan tenang dia mengucapkan sebuah
kalimat yang sangat menenangkan, sama sepert kalimat terakhir Ken. ‘I’m still in here’. Kalimat sakti yang
selalu terucap setiap Jae berada di titik terlemahnya. Dan janji Key yang akan
selalu Jae ingat. ‘Yes, our. I’m still in
here, beside you, and stay with you. I’m promise’. Semua itu yang membuat
hatinya bahagia di saat pikirannya sakit. Jae tak ingin kabur lagi. Ia ingin
menghadapi semuanya bersama Key.
“Thank you, for being us.” Ucap pelan Jae
pada Key. Meski ia tahu Key tak mendengarnya. Namun dirasakan Jae anggukan
pelan di punggungnya. Dan Jae hanya bisa tersenyum bahagia.
##FEBRIAZ##

Tidak ada komentar:
Posting Komentar