Kamis, 11 Agustus 2016

Cerpen "SAVE ME"

Entah cerpen yang keberapa. Maaf typo bertebaran.
~febriaz~

SAVE ME



Give me your hand, save me..
I need your love before I fall, fall..
~Save Me – BTS~



‘BRAK!! PRANG!!’ Lagi, lagi dan lagi suara-suara itu terdengar. Teriakan suara berat laki-laki dan sahutan suara keras wanita yang seperti tak mau kalah. Tak peduli jika itu malam yang semakin larutpun, suara-suara itu tetap saja terdengar memenuhi sebuah rumah megah. Tak dipedulikan lagi bagaimana perasaan para tetangga yang mungkin terganggu dengan suara-suara itu. Bukan hanya tetangga, perasaan sang anak pun juga tak dipedulikan mereka.
Di salah satu kamar di rumah itu,  terlihat sosok yang sudah jengah dengan pertengkaran-pertengkaran itu. Jae, Junior Hansa Leonardo. Ini bukan pertama atau kedua kalinya dia menyaksikan atau mendengar semua teriakan bahkan lemparan barang. Semua drama orang tuanya mungkin sudah seperti tontonan wajibnya. Tak ada yang bisa ia lakukan. Lebih tepatnya, ia tak mau melakukan apa-apa karena apapun yang akan ia lakukan nanti tak akan mengubah apa-apa.
Dengan kasar, ia pasang kembali headphone ke telinganya. Mencoba meredam suara-suara orang tuanya dengan music rock bervolume tinggi. Tapi sepertinya usahanya sia-sia. Nyatanya musiknya tak mampu menyembunyikan suara-suara itu. Jae melempar headphonenya ke sembarang tempat. Ia kemudian menyambar kunci motornya dan jacket yang tak jauh darinya. Jae melewati begitu saja ruang tamu, tempat orang tuanya masih berkacak pinggang dengan argumennya sendiri-sendiri. Jae tak ada niat untuk berhenti sekedar berpamitan. Toh tak ada yang peduli kemana ia akan pergi.
Dilihatnya sekali lagi rumah megah yang menjadi tempat tinggalnya. Tak bisa ia sembunyikan kilatan emosi, kekesalan yang tergambar di matanya. Yang ada dipandangannya bukanlah rumah megah bak istana. Melainkan rumah megah yang seperti neraka untuknya. Jae membuang pandangannya. Segera Jae tutupi pandangnnya menggunakan helmnya. Seperti tak mau berlama-lama lagi disana, Jae segera menstarter motor sport-nya dan meninggalkan halaman rumahnya.
Deru motor Jae ikut membelah malam di jalanan kota Jakarta. Memang jalanan Jakarta tak akan pernah sepi, jam berapapun itu. Jae terus melajukan motornya entah kemana. Yang jelas ke tempat yang mampu menerima semua emosinya. Dan tempat dimana ia tak lagi mampu mendengar suara-suara yang dibencinya.
Sekitar satu jam Jae bersama motornya menyusuri jalan raya, akhirnya ia berhenti di salah satu sudut kota Jakarta. Tempat yang benar-benar ia inginkan. Jae di sana tak sendiri. Sudah banyak orang-orang yang seperti dia berkumpul disana. Arena balap liar. Tempat yang dulu untuk menyalurkan hobinya. Namun sekarang hanya untuk melampiaskan emosinya.
“Hades?! Akhirnya datang juga lo.” Seseorang menghampiri Jae setelah menyadari kedatangannya. Ya, ditempat ini tak ada yang mengetahui siapa namanya yang sebenarnya. Jae menggunakan nama ‘Hades’ ditempat ini. Jae segera melepas helmnya dan membalas sapaan orang itu dengan senyum sinis khas Jae.
“Malam ini lo harus main!” Ucap orang itu lagi. Dia Brian, salah satu teman Jae. Tapi bukan ‘teman’ yang mengetahui siapa Jae sepenuhnya. Brian hanya termasuk segelintir orang yang mengenal Jae karena tempat ini. Ya, sebagai Hades.
“Lo tahu gue belum siap main kan, Yan?” Ucap Jae. Memang akhir-akhir ini Jae hanya sebagai penonton di arena ini. Dia belum benar-benar siap untuk bermain lagi. Setelah kejadian 2 tahun silam. Yang sempat membuat Jae trauma dengan yang namanya balapan liar. Namun ia sadar, ia tak bisa berlari. Akhirnya Jae kembali ke arena ini. Beberapa kali ia  kembali mencoba untuk bermain, namun ia tak pernah sampai garis akhir.
“Ayolah! Sampai kapan lo mau begini terus. Lo harus hadepin ketakutan lo. Semua orang yang kumpul di sini sudah pada kangen sama Hades. Dan gue bisa jamin lawan lo sekarang selevel sama lo. Bisa ngembaliin kejayaan Hades yang udah lama tenggelam. Dia udah menang beberapa kali disini waktu lo nggak datang. Dan malam ini, dia ada disini dan kebetulan lo juga disini.” Jelas Brian lagi. Jae sedikit tertarik dengan informasi Brian. Karena malam ini ia butuh pelampiasan yang benar-benar sebanding dengannya. Dan apa yang dikatakan Brian tak salah. Ia harus kembali. Hades harus bangkit lagi.
Who?” Tanya Jae.
“Black Angel.”
“Namanya?”
“Bukan. Itu panggilannya. Kalau namanya, gue juga nggak tahu.” Ujar Brian hanya dijawab anggukan paham Jae.
So? Tertarik?” Tanya Brian memastikan.
“Boleh juga.” Jawab Jae enteng.
“Yes! Kalau gitu gue bilang dia dulu. Lo persiapan aja. Welcome and good luck, Hades.” Ucap Brian sambil berlalu pergi.
Jae melihat Brian sedang berbincang dengan seseorang. Karena terhalang punggung Brian, Jae tak berhasil melihat siapa orang itu. Dalam benaknya, Jae masih penasaran dengan Black Angel. Dari panggilannya dia sepertinya seorang cewek. Tapi, seperti apa skillnya sampai ia mampu menjuarai di arena ini. Karena Jae tahu bahkan semua yang nongkrong di tempat ini tahu, hanya satu orang yang mampu  berada di peringkat atas tempat ini. Jae. Ya, sejak Jae menginjakkan kakinya di tempat ini, tak ada yang mampu mengalahkannya. Semua orang tahu bagaimana seorang Jae ketika sudah berada di jalanan. Meski ia telah vakum untuk waktu yang tak sebentar. Dan mala mini sang Hades telah kembali.
Stand by! Dia udah ada digaris start.” Brian kembali menghampirinya. Jae hanya mengangguk.
Segera ia memakai helmnya kembali dan menuju garis start. Jangan lupakan teriakan histeris penonton di arena itu mengetahui Hades sudah kembali. Di garis start, Jae menemukan si Black Angel sudah siap. Jae mengamati motor yang dipakai Black Angel. Sepertinya dia sangat mengenali motor hitam itu. Tapi milik siapa? Setelah mengorek memorinya sebantar, Jae terhenyak mendapatkan ingatannya. Motor hitam itu mirip seperti motor milik orang yang dia kenal. Merasa diperhatikan, Black Angel menoleh. Pandangan mereka bertemu beberapa detik. Tapi segera teralihkan dengan kehadiran seseorang yang berada di antara mereka membawa bendera. Dan setelah bendera terlempar dari sang pembawa, kedua motor itu langsung melesat begitu saja.
Jae terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Antara ingin meluapkan emosinya, melawan ketakutannya dan tak ingin si Black Angel menyusulnya. Pandangan Jae terus ke jalanan depan, namun tak dipungkiri ia juga sesekali melirik kaca sepionnya, mengawasi keberadaan Black Angel. Jae sedikit terkejut ketika Black Angel sudah berada di sampingnya. Menjajari lajunya. Bahkan Jae sempat melihat Black Angel menoleh padanya. Jae sangat yakin kalau dibalik helm Black Angel, dia sedang tersenyum sinis pada Jae. Jae bisa merasakan itu. Jae segera menambah kecepatannya. Ia tak ingin lengah. Dalam pertandingan kali ini, Jae baru merasakan bagaimana rasanya ketakutan dan khawatir. Ia tak mau dikalahkan oleh seorang cewek. Tak sadar ia sedikit melupakan masalahnya. Tergantikan sedikit pengakuan mengenai kemampuan Black Angel yang tadi sempat ia remehkan.
“Wooooo….” Teriakan itu terdengar ketika Jae melintasi garis finis. Dan tak lama berselang di belakangnya, Black Angel. Hanya berselang sepersekian detik. Akhirnya untuk pertama kalinya setelah 2 tahun berlalu, Jae berhasil melintasi garis finish.
Good job, Hades. You’re the best. Hades is back!” Teriak Brian dengan cengiran. Jae hanya mengangkat tangannya, menerima ucapan itu.
Jae melepas helmnya. Ia berniat untuk menghampiri Black Angel, namun Jae tak melihat dimana Black Angel. Setahunya tadi lawannya itu berhenti tak jauh darinya. Tapi kali ini Jae tak melihatnya masih di tempat ini. Jae terus mengedarkan pandangannya.
She’s go home.” Ucap Brian.
I don’t care.” Jawab Jae mengelak. Brian hanya tertawa. Jae memasang helmnya kembali.
“Mau kemana lo?” Tanya Brian.
“Pulang.”
“Lo nggak ikut party dulu?” Tanya Brian sambil menunjukkan beberapa lembar uang hasil dari taruhannya.
“Habisin aja sendiri. Nggak ada minat.” Jawab Jae.
“Take care, bro.” Ucap Brian terakhir kali sebelum Jae melesat pergi. Kembali membelah jalanan Jakarta dini hari menuju rumahnya.
***
Di sisi jalan Jakarta yang lain, sebuah motor sport hitam juga melaju dengan kecepatan tinggi. Dialah Black Angel. Setelah pertandingan tadi, dia langsung kembali memacu motornya meninggalkan arena balap. Bukan karena dia malu lantas kabur begitu saja. Bukan juga karena dia takut pulang malam. Tapi, karena dia sudah menemukan apa yang dia inginkan.
Motor sport hitam itu berhenti di depan sebuah rumah mewah. Black Angel segera melepas helmnya. Sekarang terlihatlah seorang gadis dengan rambut sebahunya yang tadi tersembunyi di balik helm. Dia lantas meninggalkan motornya dan segera masuk.
Tak ditemukannya siapapun dalam rumah itu. Dia langsung menuju sebuah kamar tepat di sebelah kamarnya. Dibukanya perlahan pintu kamar itu. Kamar dengan nuansa hitam-putih namun terasa sangat nyaman. Gadis itu langsung melangkah masuk.
“Ken, Key pulang.” Ucap gadis itu yang bernama Key.
Bukan kepada seseorang Key mengucapkan salam. Karena kamar itu kosong. Tak ada seorangpun disana. Key terus melangkah mendekati ranjang yang berada di tengah kamar itu. Dan terdapatlah sebuah foto yang tergeletak di ranjang itu. Seorang pemuda dengan rupa yang hampir sama dengan Key sedang tersenyum lebar tergambar difoto itu.
“Ken, I miss you so bad.” Ucap Key pada foto itu.
“Gue menemukannya, Ken.” Imbuh Key.
Setelah dirasa cukup melihat foto kembarannya, Key melangkah keluar. Meninggalkan kamar yang sudah kosong sejak kepergian Ken. Key masuk ke kamarnya sendiri. Dan langsung melemparkan tubuhnya ke ranjangnya. Mengistirahatkan pikirannya.
Kesha Aryani Jasson. Setelah kepergian sang kembarannya, Kenly Arlan Jasson, dia hidup sendiri. Orang tuanya masih ada. Namun entah sekarang berada di bumi bagian mana. Papanya, Tuan Jasson, lebih menyayangi pekerjaannya daripada anaknya. Bahkan saat hari pemakaman Ken, Tuan Jasson hanya pulang sebentar kemudian pergi lagi ke Eropa. Sedangkan sang Mama, Nyonya Jasson,  memilih pergi dengan lelaki lain karena tak tahan dengan kelakuan suaminya. Awalnya, Key tak peduli dengan hidupnya, dengan keberadaan orang tuanya. Asalkan Ken selalu bersamanya. Namun, setelah kecelakaan itu dan membawa pergi kakak satu-satunya, Key semakin merasakan hidupnya benar-benar sendiri.
Meskipun sempat merasakan bagaimana berada dititik kehilangan sampai rasanya seperti depresi karena kematian Ken, Key perlahan bangkit. Ia sadar, bersedih terlalu lama tak akan bisa mengembalikan Ken. Dan akhirnya Key, kembali ke rumah lamanya setelah 2 tahun yang lalu dia menenenangkan diri di rumahnya yang berada di Bali. Key sudah sepakat dengan dirinya mulai besuk akan memulai lembaran baru, demi Ken.
***
SMA Airlangga. Bel masuk akan berbunyi 5 menit lagi. Namun sepertinya para siswa masih enggan memasuki kelas dan menyiapkan pelajaran. Buktinya mereka masih asyik mengobrol di halaman maupun di koridor. Tiba-tiba seperti dikomando, kerumunan di koridor sedikit menepi, membuat sebuah jalan. Pemandangan seperti ini sudah biasa terlihat di SMA Airlangga. Tepatnya 1 tahun yang lalu setelah seorang Junior Hansa Leonardo resmi menjadi siswa Airlangga.
Benar saja, terlihatlah dari ujung koridor melangkah Jae dengan santainya. Headphone setia ditelinganya, kedua tangan di saku hoodienya, dan jangan lupakan wajah yang tak menampilkan ekspresi apapun, datar tepatnya dingin. Dengan penampilan yang dingin terkesan sombong itulah Jae mampu menjadi pusat perhatian. Tinggi, badan atletis, rupa oriental, mata coklat tajam mampu membuat siapa saja yang melihatnya tak bisa mangalihkan pandangannya dari seorang Jae.
Berbeda dengan ekspresi para siswi Airlangga yang melihat Jae dengan tatapan memuja, Jae justru tak memperdulikan itu semua. Dia tetap berjalan dengan santainya menuju XI-3, kelasnya. Setelah langkahnya sampai di kelasnya, dia langsung saja melangkah ke meja di pojok belakang, meja favorit ke banyakan siswa. Setelah melempar tasnya di meja, dia juga segera meletakkan kepalanya di atas tasnya. Tak dipedulikannya bel yang sudah berdering nyaring. Tak perlu dikhawatirkannya guru yang akan segera datang. Karena ia sangat tahu, tak kan ada yang berani mengusik seorang Jae. Dia bukan golongan troublemaker di Airlangga. Namun dengan nama ‘Leonardo’ sebagai nama belakangnya, semua  orang yang berada di Airlangga perlu berpikir dua kali jika ingin berhubungan dengan Jae.
“Selamat pagi semua?” Salam Bu Ratna, guru Fisika yang mengajar jam pertama di XI-3. Jae mendengan salam itu, namun ia tak juga mengangkat kepalanya.
“Pagi, Bu.” Jawab semua siswa yang menghuni kelas itu. Ya, kecuali Jae.
“Hari ini, ada siswa baru di Airlangga tepatnya di kelas ini.” Ucap Bu Ratna. Kemudian seorang cewek melangkah perlahan dan berdiri di samping Bu Ratna.
“Silahkan perkenalkan siapa kamu!” Perintah Bu Ratna halus.
“Kenalkan nama gue, Keysha Aryani Jasson.” Hanya satu kalimat yang berhasil keluar dari mulut Key.
Mendengar nama belakang Key, Jae mengangkat kepalanya. Ia seperti familiar dengan nama itu. Namun, setelah melihat Key, Jae terpaku dengan tatapan Key. Tak dipedulikan lagi nama belakang Key beralih ke tatapan Key. Jae mengenal tatapan itu.
“Black Angel.” Ucap lirih Jae. Ia sangat yakin, cewek yang sedang berdiri di depan kelasnya itu adalah Black Angel.
“Sudah?” Bu Ratna memastikan perkenalan Key yang hanya menyebutka nama lengkapnya itu. Key mengangguk.
“Ya sudah, silahkan duduk di kursi kosong itu.” Ucap Bu Ratna menunjukkan kursi kosong yang berada tak jauh dari meja Jae.
Setelah mengangguk pada Bu Ratna, Key melangkah ke meja barunya. Tak sengaja tatapannya tertuju pada Jae yang masih memperhatikan Key. Kemudian senyum sinis yang didapatkan Key, sebelum sang pemilik senyum itu kembali meletakkan kepalanya di meja.
“Hades.” Ucap Key pelan. Key tak menyangka bisa bertemu lagi dengan orang yang tadi malam beradu kecepatan dengannya. Key tersenyum miring mengingat kejadian tadi malam.
“Baiklah, kita lanjutkan pelajaran minggu lalu.” Ucap Bu Ratna mengalihkan pikiran Key.
***
Apa yang bisa digambarkan ketika hari pertama di tempat baru? Sepi? Bosen? Atau awkward? Ya seperti itulah yang dialami Key. Namun jika kebanyakan siswa baru segera mencari teman, berbeda dengan Key. Karena seperti inilah yang dia inginkan. Tak ada orang yang mengenalinya. Sehingga ia tak perlu repot-repot untuk membangun hubungan. Entah itu dengan temannya atau yang lain. Dan yang jelas dia menikmati kesendiriannya.
“Hai?” Sebuah suara mengintrupsi Key. Membuat Key mendongak dari bukunya. Dan ia temukan seorang cowok berdiri di depan mejanya. Bukannya segera menjawab, Key justru hanya menyipitkan matanya. Memberikan tatapan terganggu karena kedatangan cowok itu.
“Lo murid baru kan? Kenalin gue Ajun Mahardika. XII-4.” Ajun memperkenalkan dirinya. Key hanya menatap Ajun tajam tanpa ada niat membalas perkenalan itu.
“Udah? Kalau udah selesai, tolong pergi. Gue sibuk.” Ucap Key dingin sontak membuat beberapa siswi di kelas itu melemparkan tatapan tajam ke Key. Secara Key sudah berani mengusir seorang Ajun. Idola Airlangga.
“Lo ngusir gue?” Tanya Ajun. Kali ini Key tak menjawab. Bahkan dia tak mengangkat kepalanya sedikitpun.
“Sopan santun lo sebagai adik kelas mana?” Tanya Ajun kesal karena tak dihiraukan Key.
“Berisik!” Sebuah suara membuat semua pasang mata yang berada di dalam kelas itu menoleh pada sumber suara. Dan yang mereka temukan adalah seorang Jae mengangkat kepalanya dan memberi tatapan terganggu.
“Kalau nggak mau, nggak usah dipaksa kali.” Ucap Jae lagi. Dari nadanya sangat jelas kalau dia sangat kesal. Dan perkenalan Ajun-Key sangat mengganggunya. Semua orang tahu itu.
Ajun hanya mampu menatap Jae tajam. Dan itu hanya dibalas dengan tatapan santai oleh Jae. Key sempat menoleh, tapi hanya beberapa detik saja. Setelah itu ia kembali fokus pada bukunya. Karena ia merasa tak perlu memperdulikan acara tatap-tatapan dua cowok itu. Dan tanpa sepatah katapun, akhirnya Ajun memilih melangkahkan kakinya dari kelas itu. Bukannya ia takut dengan Jae. Hanya dia sangat tahu siapa Jae sebenarnya. Jadi, dia lebih memilih diam daripada berurusan dengan Jae. Sepeninggalan Ajun, Jae kembali ke posisi semula.
***
Jae melepas headphone-nya ketika deringan bel panjang menembus pendengarannya. Ia kemudian mengangkat kepalanya dan menemukan teman kelasnya keluar kelas satu persatu. Setelah meregangkan ototnya sebentar, Jae segera menyambar tasnya dan beranjak dari kursinya. Ia kemudian melangkah menuju pintu kelas melewati satu-satunya kursi yang masih berpenghuni.
“Kalau main tuh pakai hati. Bukan cuma pakai emosi.” Sebuah suara menghentikan langkah Jae. Dengan cepat ia menoleh, memberi tatapan tajam pada sang pemilik suara. Jae tak pernah suka jika ada yang mengomentari hidupnya.
“Tau apa sih lo?” Ucap Jae sinis. Ia masih memandang tajam gadis yang tak juga beranjak dari kursinya. Key hanya tersenyum.
“Gue tahu lo, Hades.” Ucap Key dengan senyum misteriusnya. Jae tertawa pelan.
“Ah..lo masih nggak terima kekalahan lo yang kemarin, Black Angel? Sabar ya..” Ucap Jae dengan nada suara yang dibuat-buat. Tak lupa dengan tepukan pelan dibahu Key melengkapi acting Jae. Key melirik tangan Jae yang berada dibahunya. Dia menepisnya.
“Gue nggak peduli menang ataupun kalah di pertandingan kemarin. Yang gue tahu, seorang Hades nggak main seperti kemarin. Cuma pakai emosi.” Ucap Key tajam. Tanpa menunggu respon dari Jae, Key melangkahkan kakinya meninggalkan kelas. Meninggalkan Jae yang masih mencerna perkataan Key. Siapa dia sebenarnya?
***
BRAK!
Jae membuka pintu kamarnya dengan kasar. Tasnya terlempar ke sembarang tempat. Sedangkan dia melemparka tubuhnya ke tempat tidurnya. Pikirannya masih terpenuhi ucapan-ucapan Key. Dan itu membuatnya kesal.
Kenapa dia harus bertemu dengan Key? Kenapa Key bisa mengetahui itu? Apa mereka pernah kenal sebelumnya? Tidak! Jae tidak mengenalnya. Jae baru melihatnya dua kali. Ya, hari ini sebagai Key murid baru di kelasnya dan kemarin di arena sebagai Black Angel. Jae yakin itu.
“Aish!” Jae menjambak rambutnya kesal.
Jae menyapukan pandangannya ke seluruh sudut kamarnya. Inilah kamarnya, nuansa gelap mendominasinya. Mewah tapi kosong. Seperti penghuninya. Tiba-tiba pandangan Jae jatuh pada bingkai foto di atas meja samping tempat tidurnya. Itu adalah satu-satunya foto yang ada di kamar ini. Tergambar jelas disana dua sosok cowok yang saling merangkul dan tersenyum bahagia. Jae tersenyum miris melihatnya. Ia masih ingat jelas kapan dan dimana foto itu diambil. Hari itu saat pertama kalinya dia dan Ken, sahabatnya menang dalam arena balapan untuk yang pertama kalinya. Setelah merayakan kemenangan, mereka berdua mengambil foto itu. Ya, hanya mereka berdua.
“Ken, I miss you so bad. Where are you?” Monolog Jae pelan. Karena ia tak tahu harus bertanya pada siapa.
Perlahan, Jae menggerakkan jarinya di atas selimutnya. Ia mengeja satu persatu alphabet hingga membentuk sebuah nama. Nama yang sangat ia hafal di luar kepalanya.
“K.E.N.L.Y.A.R.L.A.N.J.A.S.S.O.N.” Ejanya sambil terus menggerakkan jarinya.
“Kenly Arlan Jasson, my bro.” Ucap Jae pelan. Setelah mengucap nama itu, Jae tersentak. Sesuatu mengentrupsi pikirannya. Jasson? Tunggu! Dia seperti mendengar nama itu selain nama Ken.
“Keysha..Aryani..Jasson.” Lafal Jae sambil mengingat. Ya! Nama Key. Mengapa mereka mempunyai nama belakang sama. Apa hubungan mereka? Hanya kebetulankah? Semua pertanyaan bercampur jadi satu. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas begitu saja dalam pikiran Jae.
‘Nanti gue bakal kenalin lo sama saudara gue. Nanti setelah kita pulang dari sini.’ Ucap Ken waktu itu. Ya, sebelum kejadian itu terjadi.
Janji Ken terus terulang dipikiran Jae. Seperti sebuah rekaman yang tak akan pernah berhenti. Jae mencoba menutup telinganya. Berharap tak akan mendengar suara Ken lagi. Cukup! Tak bisakan ini berhenti? Dia sudah ingat. Tak bisakah suara Ken hilang? Jerit Jae dalam hati.
Dengan cepat, ia langsung menyambar hoodienya kembali. Tak peduli dengan seragam sekolah yang belum digantinya. Yang perlu dilakukan sekarang segera bertemu dengan Key. Hanya dia yang bisa Jae tanya dimana keberadaan Ken sekarang. Agar Jae bisa segera menebus kesalahannya.
Dengan motor sportnya, Jae kembali membelah jalanan Jakarta. Ia tak peduli padatnya jalanan waktu sore hari. Yang terpenting ia harus segera menemukan Key. Meski ia tak tahu harus kemana dia pergi. Namun yang ia tempuh sekarang jalan menuju sekolah. Ya, sekolah. Itu yang pertama menlintas dipikirannya tadi. Entah kenapa ia sangat yakin, kalau gadis itu masih di sekolah.
Jae menghentikan motornya di depan Ailangga. Pintu gerbang sudah dikunci. Itu artinya sudah tak ada lagi siswa yang berada di dalam sekolah. Jae mengedarkan pandangannya ke area sekitar sekolah. Halte, toko buku, toko aksesoris, kemudian…café. Ya, dia menangkap objek yang dia cari. Juga masih dengan seragam sekolahnya, Key duduk di café depan sekolah. Tanpa banyak berpikir lagi, Jae melangkah menuju café itu. Sampai di dalam, dia langsung menghampiri meja dimana Key duduk.
“Lo ikut gue sekarang!” Ucap Jae sambil menarik paksa tangan Key. Key yang awalnya tak menyadari kedatangan Jae, tersentak ketika seseorang langsung menarik tangannya. Refleks Key menghempaskannya.
“Lo nggak salah orang?” Tanya Key sangsi. Ia masih ingat jelas pembicaraannya ketika di kelas tadi.
“Gue nggak salah orang, Keysha Aryani Jasson! Daripada gue bertindak lebih lanjut, mending lo ikut gue sekarang!” Jawab Jae tanpa sadar menyebutkan nama Key secara lengkap dengan kesal. Mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian di café itu.
“Setelah perdebatan kita tadi, lo pikir gue mau begitu saja ikut sama lo? Hello..gue tahu lo masih dendam sama gue.” Ucap Key masih duduk manis di kursinya. Jae menghela nafas kasar. Ia tahu melakukan ini takkan mudah.
Shut up! Just follow me! Okey?” Kali ini tanpa basa-basi lagi, Jae langsung menarik tangan Key dan membawanya keluar dari café. Ia tak peduli dengan tatapan kepo para pengunjung café . Jae baru melepaskan tangan Key ketika mereka sudah berada di dekat motor Jae yang masih terparkir di depan sekolahan.
“Naik!” Perintah Jae setelah ia sudah duduk di motornya.
“Lo mau bawa gue kemana?” Tanya Key masih tak mau naik.
“Naik, Key!” Bentak Jae tanpa menjawab pertanyaan Key. Akhirnya, Key menuruti perintah Jae dengan sangat terpaksa daripada mereka harus berdebat lagi di tempat umum.
“Pegangan yang kenceng!” Ucap Jae masih dengan nada otoriternya.
“Nggak perlu. Lo lupa siapa gue, Hades?” Tolak Key tepat di samping telinga Jae. Dengan tanpa permisi, Jae menarik tangan kanan Key, meletakkannya pada perutnya dan menahannya menggunakan tangan kirinya. Mau tak mau tubuh Key tersentak ke depan. Menghantam punggung tegap Jae.
“Gue nggak lupa siapa lo, Black Angel.” Ucap Jae. Key mencoba menarik tangannya, namun Jae semakin menahannya. Setelah perlawanan Key sedikit mereda, Jae menghidupakan motornya dan perlahan membawanya meninggalkan lingkungan sekolah.
***
Taman itu sudah mulai sepi. Mungkin karena sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala menyinari taman yang tak begitu luas itu. Jae menghentikan motornya di sana. Di depan sebuah kursi taman. Tangan kirinya masih menahan tangan Key. Perlahan, Jae melonggarkan genggamannya. Dan saat itu pula, Key segera menarik tangannya. Key segera turun dan beralih duduk di kursi taman. Sampai saat ini, ia masih tak mengerti kenapa Jae membawanya ke sini. Tak mungkinkan dia rela mencarinya hanya untuk membahas pertandingan kemarin malam? Kan masih ada esok hari.
“Dimana Ken?” Pertanyaan Jae langsung membuat Key mendongak. Bukannya segera menjawab, Key hanya menatap Jae kosong. Ia tak menyangka Jae langsung to the point.
“Gue tanya, dimana Ken, Key? Lo pasti tahukan dimana dia sekarang?” Tanya Jae. Nadanya meninggi. Sorot matanya tajam. Key sadar, Jae sudah tahu siapa dirinya sebenarnya. Dan itu alasan mengapa seorang Jae mencarinya dan membawanya ke sini. Untuk menanyakan saudara kembarnya, Ken.
“Jauh. Ken berada di tempat yang jauh.” Jawab Key pelan. Dia harus bisa menahan semuanya. Emosi dan sakit di hatinya. Dia harus tenang di depan Jae. Karena api tak bisa di lawan dengan api pula.
“Jauh? Seberapa jauh dia? Eropa? Amerika? Atau Afrika? Kasih tahu gue dimana Ken! Gue yakin seberapa jauh dia sekarang, gue bisa menemukannya.” Ucap Jae percaya diri.
“Nggak. Lo nggak bisa bertemu dengannya. Tidak juga dengan semua kekayaan lo. Karena dia…Ken..dia…ada..di..” Ucapan Key terbata-bata. Sekarang Key menahan airmatanya juga sesak di hatinya. Dia tak mampu menyebutkan dimana Ken berada.
“Ken dimana?!” Tanya Jae jengah. Key menarik nafasnya dalam, kemudian menghembuskannya pelan. Ia harus memberitahu Jae.
Heaven.” Ucap Key pelan. Ia mendengar Jae terkikik pelan.
Heaven? Are you kidding me?” Tanya Jae tak percaya. Menurutnya ucapan Key hanya candaan untuk membohonginya. Tidak mungkinkan Ken sudah berada di surga?
I’m not kidding you. Ken sudah ada di surga.” Jawab Key lemah. Jae mematung. Tubuhnya bergetar hebat. Kemudian dia terduduk tepat di depan Key.
Please, tell me itu semua bohong. Ya kan, Key? That’s joke, right? Please!” Ucap Jae yang masih belum bisa menerima kenyataannya.
Key tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya melihat Jae yang terpuruk di depannya. Meski dengan nama dan sosok yang sama, Key melihat Jae yang saat ini di depannya berbeda dengan Jae yang ditemuinya beberapa jam yang lalu. Jae yang terduduk lemah dan Jae dengan semua sikap arogannya. Setelah mengamati Jae dengan seksama beberapa menit, Key tersadar. Ada persamaan antara dirinya dengan sosok yang masih terduduk di depannya itu.
Jae masih bergulat dengan dirinya sendiri. Kali ini hati dan pikirannya tak sejalan. Pikirannya menyuruhnya untuk menerima kenyataan yang baru saja dia dengar. Tapi hatinya menolak. Ken masih di sini. Ken tidak mungkin berada di surga. Key pasti bohong.
“Nggak..nggak mungkin..” Jae masih saja mencoba mengingkari kenyataan. Bahunya tergoncang hebat. Sosok Jae yang dingin benar-benar hilang. Jae sudah berada di titik terendahnya.
Key melihat itu dengan nanar. Ia sudah pernah berada di posisi Jae saat ini. Ia sangat bisa merasakan apa yang sedang Jae rasakan saat ini. Key paham itu. Tanpa berkompromi dengan otaknya, Key perlahan menghampiri Jae. Awalnya Key hanya menepuk bahu Jae pelan. Mencoba menenangkannya. Namun diluar dugaan, Jae langsung membalik tubuhnya dan mencari ketenangan di bahu Key. Menenggelamkan kepalanya disana. Key yang tak menyangka akan mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Jae, hanya mematung. Ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun perlahan, tangan Key mendekap lelaki itu. Anggap saja ini bantuan kecil dan semuanya demi Ken.
“AH!” Teriak Jae sambil menjauh dari Key.
“Jae?” Panggil Key tak mengerti dengan apa yang dilakukan Jae sekarang. Tadi dia menangis, sekarang dia berteriak-teriak tak jelas. Key mencoba mendekatinya.
Stop! Berdiri di sana!” Teriakan Jae menghentikan langkah Key.
“Jae, are you okay? Calm, Jae!” Ucap Key pelan sambil terus mendekati Jae.
“Jangan deket-deket gue. Gue pembunuh! Gue pembunuh! Ken pergi gara-gara gue. Gue pembunuh Ken!” Jae terus menyalahkan dirinya. Pikirannya kalut. Kejadian malam itu sekitar 2 tahun yang lalu berputar di kepalanya tanpa seijinnya. Menguasai pikirannya dan membuatnya percaya, dialah yang membunuh sahabatnya.
Key tak sanggup lagi jika harus melihat sisi depresi Jae yang lebih dari ini. Melihatnya menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Ken sudah membuat Key ingin sekali meminta Tuhan untuk menghidupkan Ken kembali dan mengatakan pada Jae ini bukan kesalahannya. Key beranjak, mendekat Jae, kemudian memeluknya dari belakang. Jae tersentak. Dia terdiam dari aksi menyalahkan diri.
“Jae, listen to me. You’re not killer. You’re Ken’s bestfriend. Trust me. Okay?” Bisik Key menenangkan Jae. Jae sudah mulai tenang perlahan. Dia kembali terduduk. Kembali dalam dekapan Key.
Hari sudah semakin gelap. Key memperhatikan sekelilingnya. Taman sudah benar-benar sepi. Key juga sudah mulai risih dengan tatapan beberapa orang yang kebetulan melintas di depannya. Diperhatikannya sebentar Jae yang masih dalam dekapannya. Matanya terpejam dan nafasnya teratur. Ah, mungkin dia tertidur. Biarlah laki-laki itu tertidur di dekapnnya.
Diambilnya perlahan ponsel di saku roknya. Ia tak ingin membangunkan Jae. Kemudian dicarinya sebuah nomor di deretan kontaknya. Tak banyak nomor di ponsel itu. Jadi dia menemukannya dengan mudah. Key segera menekan simbo hijau dilayar ponselnya. Dan mendekatkan ke telinganya. Ia menunggu sebentar sampai terdengar suara laki-laki paruh baya di seberang.
“Pak, jemput saya di taman ujung komplek. Sekalian bawa orang buat ambil sepeda motor teman saya.” Perintah Key singkat pada sopirnya. Setelah mendapat jawaban, Key langsung mengakhiri panggilannya. Dimasukkannya kembali ponselnya.
Tanpa menunggu lama, sebuah mobil audy hitam berhenti tak jauh dari Key berada. Dan keluarlah 2 lelaki yang segera menghampiri Key.
“Ini Non Bapak bawakan orangnya.” Ucap Pak Joni, sopir Key. Key hanya mengangguk mengerti.
“Pak, Bapak bantuin Key bawa teman Key ke mobil. Dan Masnya, tolong bawa motor itu. Kuncinya ada di sana kok. Bawa ke rumah saja.” Perintah Key hanya di jawab anggukan oleh Pak Joni dan mas-mas yang membantu Pak Joni. Tanpa bertanya lagi, mereka segera melakukan apa yang diminta Key.
Dan tanpa Key sadari, sepasang mata memperhatikannya dari jauh. Senyum bahagia tercetak di wajahnya. Akhirnya dia bisa mendapatkan cara bagaimana menjatuhkan seorang Jae.
***
‘Nanti gue bakal kenalin lo sama saudara gue. Nanti setelah kita pulang dari sini.’ Ucap Ken saat dia dan Jae duduk di pinggir arena. Ya, malam ini mereka akan ikut balap liar seperti malam-malam biasanya. Namun mala mini giliran Ken yang turun ke arena.
‘Lo punya saudara? Cewek?  Kok nggak pernah cerita. Mana baru mau di kenalin lagi. Kita udah temenan lama kali, Ken.’ Ucap Jae pura-pura marah.
‘Sorry deh, Jae. Belum ada waktu yang pas buat ngenalin dia ke lo.’ Jawab Ken meminta maaf.
‘Waktu yang pas? Kayak mau perjodohan aja harus cari waktu yang pas.’ Cibir Jae.
‘Ya, mungkin lo bakal tertarik gitu sama dia, setelah lo kenal. Siapa tahu kan?’ Jawab Ken santai.
‘Kok ucapan lo kayak nyindir banget ya? Kok rasa-rasnaya gue jomblo ngenes banget gitu.’ Kata Jae membuat Ken tak bisa menahan tawanya.
‘Lo ngerasa, Jae? Padahal gue nggak bilang apa-apa lho.’ Ucap Ken di sela tawanya.
‘Sialan lo, Ken.’ Hanya itu yang bisa Jae ucapkan untuk membalas Ken. Setelah itu dia ikut tertawa.
Seperti itulah persahabatan mereka. Mereka diperkenalkan di arena ini. Sebagai Hades dan Scorpion. Awalnya mereka ingin tetap menyembunyikan identitas mereka seperti biasanya. Namun sepertinya takdir berkata lain. Mereka akhirnya membuka identitas asli mereka. Sebagai Jae dan Ken. Hanya mereka berdua yang tahu. Dan mulai saat itu, Jae dan Ken tak pernah terpisahkan.
‘Jae, gue nanti titip dia ya?’ Ucap Ken setelah mereka berdiam beberapa saat.
‘Dia? Saudara lo? Ya ampun Ken, gue aja belum kenal. Belum lihat seperti apa orangnya. Lo udah maen titip-titipin aja. Lo gila apa gimana? Lagian lo mau kemana?’ Jawab Jae santai. Ia anggap ucapan Ken hanya candaan seperti biasanya.
‘Gue masih waras, Jae. Gue juga nggak kemana-mana. I’m still in here. But, dia itu berharga banget buat gue. So, gue minta lo bantu gue buat jaga dia ya? Gue nggak bisa kalau njaga dia sendiri. Okey, Jae? Gue nggak terima penolakan!’ Jelas Ken dengan nada memaksanya. Mau tak mau Jae mengangguk meskipun ia masih mencerna semua perkataan Ken. Jae merasa ada yang mengganjal.
‘Scorpion?!’ Panggilan seseorang mengalihkan pembicaraan mereka berdua. Seseorang dengan tubuh gembul menghampiri Jae dan Ken. Dia Dodo.
‘Apa, Do?’ Tanya Ken.
‘Lo udah ditunggu di garis start. Lo mainkan malam ini?’ Jawab Dodo.
‘Ya jelaslah gue main. Jangan panggil gue Scorpion kalau gue nggak main. Lo duluan aja kesana. Gue prepare dulu.’ Ucap Ken santai seperti biasanya. Dodo hanya mengangguk dan kembali ke kerumunan depan garis start.
‘Lo serius main malam ini? Apa gue aja yang turun?’ Tanya Jae. Ia merasa ada yang tak beres.
‘Lo kenapa sih, Jae? Lo sangsi sama kemampuan seorang Scorpion? Lagian jadwal lo turun tuh besuk. Ok? Now, let’s to start. Gue udah nggak sabar buat main.’ Ucap Ken semangat. Dari nada bicaranya, siapapun yang mendengar yakin kalau Ken baik-baik saja.
‘Ok! Let’s go!’ Ucap Jae akhirnya.
Kedatangan Ken dan Jae membuat kerumunan dekat garis start sedikit menguak. Memberikan ruang untuk dua raja jalanan di arena itu. Karena siapapun tahu siapa itu Hades dan Scorpion. Ken sudah siap di atas motor sport hitamnya, sedangkan Jae masih setia berdiri di sampingnya.
‘Lo harus menang, Scorpion!’ Ucap Jae.
‘Gue udah tahu itu.’ Jawab Ken percaya diri sambil memakai helmnya karena seseorang sudah berdiri diantara motor Ken dan lawannya. Jae menepuk bahu Ken pelan sebelum ia mundur beberapa langkah ke bagian penonton.
‘1..2..3 GO!’ Teriak orang itu lantang. Tanpa berkompromi lagi motor Ken dan sang lawan melesat diikuti teriakan penonton di arena itu. Namun ada yang beda dengan Jae. Dia tidak berteriak seperti biasanya ketika Ken sudah melesat sebagai Scorpion. Malam ini Jae hanya menatap punggung Ken dengan tatapan kosong.
Sepertinya semua perasaan tak enak Jae terbukti ketika tubuhnya menegang. Bungan api terlihat di ujung jalan. Sebuah motor juga terpental jauh, pisah dengan sang punya. Motor hitam itu menabrak pembatas jalan. Itu yang dilihat Jae. Ia mengenali sangat kenal motor itu. Semua orang yang berada di arena itu berteriak histeris, tapi tidak dengan Jae. Ia tak bisa berteriak. Jae langsung berlari ke ujung jalan. Ia tak peduli jika kakinya tak bisa diajak kompromi. Yang ia pikirkan saat ini, ia harus cepat sampai di sana. Dan memastikan kalau penglihatannya salah. Orang yang jatuh itu bukan Ken. Jae mempercepat larinya.
Mungkin malam ini Tuhan punya cerita lain. Takdir tak berpihak kepadanya. Dan penglihatannya menghianatinya. Lari Jae terhenti ketika penglihatannya menangkap sosok yang sangat ia kenal dengan sangat jelas. Helm, jaket, celana bahkan sepatu itu pun membuat Jae menahan nafasnya. Semua tak seperti yang diharapkannya. Dia, Ken tergeletak tak berdaya. Cairan merah sudah mewarnai aspal di sekitarnya. Jae langsung terduduk. Setelah mendapatkan kesadarannya, Jae langsung melepas helm Ken. Ia ingin memastikan kalau Ken baik-baik saja.
‘Ken…’ Panggil Jae sambil menepuk pipi Ken pelan. Tak ada respon.
‘Ken..Wake up, please!’ Ucap Jae lagi tak menyerah. Ia masih saja mencoba menyadarkan Ken. Perlahan, mata Ken terbuka.
‘J..Jae..’ Panggil Ken pelan memastikan.
‘Ken, lo bertahan ya, gue bawa lo sekarang ke rumah sakit.’ Ucap Jae sambil mencoba mengangkat tubuh Ken. Namun, tangan Ken menahannya. Ken tersenyum samar.
‘Sor..ry gu..e ng..ggak bi..sa te..patin j..jan..ji gu..e.’ Ucap Ken terputus-putus.
‘Itu nggak penting. Sekarang kita ke rumah sakit. Ok?!’ Jawab Jae. Ia masih tak mengerti kenapa Ken menahan tangannya.
I’m st..til in he..re.’ Ucap Ken lagi sangat pelan. Ia sudah mulai kehabisan nafasnya.
‘Maksud lo? Are you stupid, Ken?’ Tanya Jae emosi. Ia semakin tak paham.
Belum sempat Ken menjelaskan apa maksudnya, dari kejauhan terdengar bunyi sirine dan kelap-kelip lampu yang berasal dari mobil polisi. Dari kejauhan juga terlihat orang-orang yang tadinya memenuhi arena mulai kelimpungan untuk kabur. Jae dan Ken melihat itu.
‘Per..gi!’ Ucap Ken pelan sambil mendorong tubuh Jae menjauh darinya.
‘Gue akan bawa lo pergi. Kita pergi sama-sama.’ Jawab Jae. Ken menggeleng.
No. Lo per..gi se..ka..ra..ng, J..jae!’ Perintah Ken.
‘Nggak. Gue nggak bakal ninggalin lo sendiri di sini, Ken.’ Ucap Jae menolak. Ken kembali menoleh ke garis start. Polisi-polisi itu sudah mulai melangkah ke arahnya.
‘PERGI, JUNIOR!’ Ucap Ken sambil mendorong Jae menjauh dengan sisa-sisa kekuatannya. Ia harus membuat Jae pergi dari sini. Biarlah dirinya sendiri yang tertangkap polisi-polisi itu. Bukan Jae.
Mendengar Ken memanggilnya dengan nama lengkap, membuat Jae sadar kalau perkataan Ken tak bisa diganggu gugat. Jae juga melihat polisi-polisi itu semakin mendekat ke tempatnya dan Ken. Ia ingin pergi seperti perintah Ken. Namun ia juga tak mungkin meninggalkan Ken sendiri di sini. Apalagi dengan semua lukanya. Jae masih tak beranjak.
‘JAE, PERGI!’ Ucap Ken lagi sambil terus menendang Jae.
Meski dengan berat hati, Jae akhirnya beranjak. Ken mengibaskan tangannya. Menyuruh Jae untuk segera pergi. Jae pun mau tak mau melangkahkan kakinya meninggalkan Ken yang masih tergeletak di sana. Jae berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Melihat Ken. Namun tak dilihatnya Ken lagi, karena polisi-polisi itu sudah membawa Ken pergi.
Jae lelah. Ia berhenti dibalik semak-semak. Ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia lari? Kenapa ia meninggalkan Ken sendiri? Kenapa ia tadi tak segera membawa Ken ke rumah sakit? Kenapa? Dan kenapa-kenapa yang lain berputar di kepalanya.
‘KEN?!!!!!’ Teriak Jae membelah malam itu.
“KEN?!!!!!” Teriakan Jae membuat Key segera berlari ke kamar Ken. Ya, Jae ia tidurkan di kamar Ken.
“Ken..Ken..Ken..” Jae terus memanggil Ken dalam tidurnya.
Key menghampiri ranjang Ken, tempat Jae berbaring. Ia duduk di samping ranjang itu. Jae masih terus memanggil nama Ken. Key mengusap pelan keringat yang memenuhi wajah Jae. Ia juga menyibak rambut Jae yang turun ke dahinya. Key sangat yakin jika saat ini Jae sedang memimpikan Ken. Key terus mengusap wajah Jae perlahan.
Setelah Jae kembali tenang, Key membenarkan selimut Jae. Menariknya sampai bahu Jae. Namun gerakannya berhenti, ketika tangan Jae meraih tangan Key. Key terdiam. Perlahan mata Jae terbuka.
“Key..” Panggil Jae setengah sadar.
“Hemm..” Jawab Key sambil duduk di pinggir ranjang, samping Jae.
Stay..” Pinta Jae pelan dan kembali tertidur.
I’m still in here.” Ucap Key mengusap tangan Jae pelan. Entah kenapa Key saat ini harus tetap berada di sisi Jae. Mungkin bukan hanya untuk saat ini, tapi juga nanti, besuk ataupun entah sampai kapan. Yang Key tahu, Jae membutuhkan dirinya. Jae kembali bernafas teratur. Ia kembali kedalam tidurnya yang tenang.
“Mimpi indah, Jae.” Ucap Key memperhatikan Jae yang sudah terlelap.
Setelah memastikan Jae benar-benar sudah terlelap, pandangan Key beralih pada foto Ken yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Ken yang sedang tersenyum merangkul Key.
“Jadi ini alasan lo nyuruh gue buat nemuin dia? Lo pasti sudah tahu kalau dia bakal seperti ini setelah tahu lo sudah pergi. Yakan?” Monolog Key pada foto Ken. Ya, menemui Jae adalah permintaan terakhir Ken sebelum ia benar-benar pergi.
Key kembali menatap Jae. Dia sudah benar-benar kembali ke alam tidurnya. Dia juga tak lagi memanggil-manggil Ken. Key beranjak. Ia merapikan selimut Jae. Kemudian perlahan melangkah keluar dari kamar itu. Selagi Jae tertidur, Key ingin membersihkan dirinya sebentar dan meminta Bi Rani membuatkan makan malam untuknya dan Jae.
***
Key membuka pintu kamar Ken perlahan. Ditangannya sudah ada satu nampan berisi makanan dan minuman untuk Jae. Kemudian dia menutup pintu dengan sikunya. Setelah pintu sudah tertutup, ia mendongakkan pandangannya dari nampan yang dibawanya. Sekarang ia mendapati Jae tidak lagi terbaring, dia sudah duduk di ranjang. Jae mengamati kedatangan Key dengan tatapan yang sulit diartikan. Key melihat Jae sudah bangun sedikit tersenyum.
“Ah, lo sudah bangun?” Ucap Key sambil terus melangkah mendekat ke tempat tidur. Tak ada respon dari Jae.
“Ini, gue bawakan makan malam. Lo makan dulu ya?” Pinta Key meletakkan nampan berisi makanan itu di depan Jae. Jae melirik makanan itu sekilas, tapi kemudian netranya kembali menatap gadis di depannya. Banyak yang ingin Jae tanyakan padanya. Tapi Jae bingung darimana ia harus memulai.
“Jae?” Panggil Key pelan merasa tak ada respon dari Jae.
“I..ini kamar Ken?” Tanya Jae akhirnya. Key tersontak sebentar, tapi kemudian ia mengangguk.
“Ken dimana?” Tanya Jae masih saja belum percaya dengan apa yang didengarnya beberapa jam yang lalu.
“Jae?” Ucap Key seperti mengatakan bahwa semuanya tidaklah berubah. Jawabannya masih sama dengan beberapa jam yang lalu.
“Kapan?” Tanya Jae lagi. Kali ini dengan tatapan sendunya. Lupakan dengan nampan yang berisi makanan. Karena nampan itu tak akan tersentuh. Jae tidak lapar. Dia hanya butuh penjelasan.
“Satu minggu setelah dia dibawa ke rumah sakit. Dia koma, kemudian tersadar di hari ke-6. Setelah mengucapkan permintaannya ke gue, dia kembali tertidur untuk selamanya.” Jelas Key berusaha menahan airmatanya. Ia tak ingin menangis lagi. Cukup 2 tahun yang lalu. Saat ini tugasnya untuk menenangkan Jae.
“Kenapa..kenapa nggak ada yang kabarin gue?” Protes Jae yang mati-matian juga menahan air matanya. Ia tak ingin menangis di depan gadis ini. Ia tak ingin melihatkan sisi lemahnya lagi.
“Gue nggak tahu lo dimana. Dan gue juga baru tahu kalau Ken punya sahabat setelah dia mengucapkan permintaannya.” Jawab Key. Ia harus tetap tenang.
“Permintaan?” Pertanyaan Jae dijawab anggukan pelan Key.
“Dia minta ke gue buat nemuin lo. Katanya dia punya janji sama lo. Sorry, gue baru bisa ketemu lo sekarang. Setelah pemakaman Ken, gue langsung terbang ke Bali buat nenangin diri. Dan malam itu akhirnya gue bisa nemuin lo di arena itu.” Jelas Key panjang lebar. Airmatanya ternyata menghianati Key. Mereka sudah membasahi pipi Key.
Melihat Key menangis, Jae langsung menggeser nampan makanan ke sisi ranjang yang lain. Menghapus jarak antara dirinya dengan Key. Jae langsung merengkuh tubuh Key ke dalam dekapannya. Dan pecahlah isakan Key di dada bidang Jae. Key mengingkari janjinya pada Ken. Malam ini ia menangis lagi untuk Ken. Jae mengusap punggung gadis itu pelan. Bermaksud untuk menenangkannya. Tapi, airmatanya juga menghianatinya. Ia juga menangis dalam diam. Bahkan airmatanya sudah membasahi puncak kepala Key.
Sorry, this is my fault. Seharusnya gue nggak ninggalin Ken malam itu. Seharusnya gue nahan dia buat main malam itu. Atau seharusnya gue langsung bawa dia ke rumah sakit. Seharusnya itu yang gue lakuin malam itu. Maafin gue, Key..maafin gue.” Ucap Jae menahan emosinya. Ia kembali menyalahkan dirinya sendiri. Key keluar dari dekapan Jae. Dia kemudian memandang Jae dalam.
“Cukup, Jae. Cukup lo nyalahin diri lo sendiri. Semua ini bukan kesalahan lo. Ken pergi, mungkin udah jalannya untuk pergi. Mungkin kalau lo ngelakuin semua yang lo katakan tadi malam itu, kalau Tuhan udah nulis cerita Ken pergi malam itu maka dia juga pergi. Ada atau tidaknya lo. So, berhenti nyalahin diri lo dan mulai ikhlasin Ken.” Ucap Key pelan tak mengalihkan pandangannya pada iris coklat milik Jae.
“Gue nggak bisa.” Ucap Jae lemah. Ia tak yakin bisa ngikhlasin Ken. Cerita kepergian Ken saja dia belum bisa menerima, apalagi harus mengikhlaskannya.
“Bisa. You can do it. Kita buat bahagia Ken disana ya?” Ujar Key dengan suara lembutnya.
“Kita?” Tanya Jae memastikan ia tak salah mendengar.
Yes, our. I’m still in here, beside you, and stay with you. I’m promise.” Jawab Key yakin. Tak lupa senyum manisnya yang menghiasi ucapannya.
Jae terhenyak mendengar kalimat itu. Ia tak percaya Key akan mengucapkannya setelah apa yang ia lakukan pada Ken. Dan senyum itu, senyum itu mengingatkannya pada senyum Ken waktu itu. Senyum yang menyiratkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Perlahan Jae ikut tersenyum. Kembali ia merengkuh Key kedalam pelukannya.
Thanks.” Bisik Jae tepat di samping telinga Key.
You’re welcome.” Jawab Key sambil menarik tubuhnya.
“Sekarang lo makan ya?” Ucap Key sambil mengambil nampan yang tadi di sisihkan Jae.
“Lo?” Tanya Jae.
“Gue udah makan tadi waktu lo tidur.” Jawab Key menyodorkan satu suapan kearah Jae.
“Gue bisa makan sendiri.” Ucap Jae kembali dengan nada dingin sambil merebut sendok dan piring dari pangkuan Key. Key tak tersinggung dengan ucapan ketus Jae. Dia justru tersenyum melihat Jae yang sudah memakan makananannya dengan lahap. Karena Key sudah tahu seperti apa Jae yang sebenarnya.
“Ngapain senyum-senyum gitu? Mau? Atau lo baru sadar kalau makhluk yang ada dihadapan lo ini cakep? Ati-ati lo bisa jatuh cinta sama gue.” Ucap Jae sambil terus mengunyah.
“Pe-De banget sih lo? Gue seneng aja bisa lihat dua Jae dalam satu hari ini.” Jawab Key dengan senyum menggodanya. Kemudian terkekeh kecil. Jawaban itu membuat Jae menghentikan aktivitas makannya dan menoleh pada Key dengan tatapan mematikannya. ‘Jangan ungkit-ungkit itu!’ Mungkin itu yang tersirat dalam tatapan mata Jae. Merasakan mendapat peringatan, Key menghentikan kekehannya.
“Udah-udah, lanjutin makannya. Kalau kurang, gue ambilin lagi.” Key mengalihkan pembicaraan.
“Emang lo kira gue apaan nasi sepiring masih kurang?” Tanya Jae dengan tatapan menyipitnya.
“Kan cuma kalau, Jae.” Jawab Key dengan cengirannya. Dan tanpa aba-aba mereka tertawa bersama.
Hari ini, mereka berdua sama-sama melihat dua sosok yang berbeda dengan nama yang sama. Hari ini hari pertama mereka bertemu, tapi mereka sudah saling mengetahui sisi terlemah antara mereka berdua. Dan mungkin besuk, cerita baru akan mereka mulai. Entah cerita apa yang akan terjadi besuk. Yang jelas, mulai saat ini mereka sudah tidak berjalan sendiri-sendiri lagi.
***
Pagi ini Airlangga sudah digemparkan dengan pandangan baru yang tak pernah terbayangkan akan terjadi. Seorang Jae yang tak pernah tersentuh oleh siapapun berajalan berdampingan dengan Key yang notabene masih murid baru di Airlangga. Dan jangan lupakan senyum Jae yang menghiasi wajah bak malaikatnya dan tawa renyahnya yang sesekali keluar di sela obrolannya dengan Key. Bisa dipastikan seluruh siswa Airlangga yang melihat itu yang menatap tak percaya. Semua tahu siapa dan bagaimana Jae 1 tahun ini. Dan dia berubah katakan hanya dalam 1 malam. Meski masih banyak yang menatap mereka berdua dengan tak paham, tapi tak bisa dipungkiri juga bertambah banyak yang menatap Jae dengan tatapan terpesonanya. Banyak siswi Airlangga yang berpikir, Jae bersikap dingin seperti biasanya saja sudah membuat mereka menahan nafas apalagi sekarang dengan Jae yang tersenyum bisa-bisa mereka berhenti bernafas saat itu juga. Ya walaupun mereka tahu Jae tersenyum untuk gadis  yang berjalan di sampingnya.
“Wuih..ada pemandangan baru nih?” Ucap seseorang yang sudah berdiri di depan Jae dan Key sontak membuat mereka berdua menghentikan langkahnya. Dia adalah Ajun. Bukan hanya Jae dan Key yang berhenti karena ucapan Ajun, tapi juga siswa Airlangga yang berdiri tak jauh dari mereka bertiga. Intinya mereka bertiga menjadi pusat perhatian.
“Mau apa sih lo?” Ucap Key sinis. Dia tak pernah tertarik dengan lelaki yang berdiri dihadapannya sekarang sejak dia memaksanya untuk berkenalan kemarin.
“Santai, calm, woles. Gue nggak bermaksud apa-apa kok. Gue cuma heran aja seorang Jae yang biasanya datang dengan muka dinginnya dan tak tersentuh, pagi ini datang dengan seorang cewek yang masih berstatus murid baru. Emangnya hanya dengan semalem kalian berdua bisa langsung deket ya?” Ucap Ajun santai bermaksud memancing emosi Jae. Namun, bukannya langsung melawan ucapan Ajun, Jae justru hanya melemparkan senyum miringnya.
“Sejak kapan ada yang berani nyampurin urusan gue? Denger ya, mau gue datang sendiri kek, mau gue pasang muka dingin kek, atau mau gue jalan sama Key, itu terserah gue.” Ucap Jae tepat di depan wajah Ajun. Jae tak peduli jika sekarang dia sedang berbicara dengan kakak kelasnya. Yang dia pedulikan, ia terganggu jika ada orang yang ikut campur dalam urusannya. Setelah mengatakan itu, Jae langsung menarik tangan Key dan melangkah pergi melewati Ajun. Bermaksud melanjutkan perjalanannya ke kelas.
“Lo semua tahu siapa Hades dan Scorpion?” Teriak Ajun lebih nyaring daripada yang sebelumnya. Dan teriakan itu lagi-lagi membuat Jae dan Key menghentikan langkahnya tepat di belakang Ajun.
Semua siswa yang ikut berdiri di halaman Airlangga pagi ini hanya menjawab dengan anggukan. Ya, semua mengenal atau tepatnya tahu siapa itu Hades dan Scorpion. Pembalap liar yang secara tak langsung dinobatkan sebagai raja jalanan. Mereka hanya tahu sebatas itu tanpa tahu siapa sebenarnya Hades dan Scorpion itu. Jae menegang, genggamannya pada tangan Key semakin mengencang. Key yang sadar akan hal itu, segera menepuk pelan punggung tangan Jae dengan tangannya yang bebas. Mencoba menenangkan Jae.
“Lo semua masih ingat kejadian 2 tahun yang lalu? Malam itu di arena tempat balapan mereka terjadi penggrebekan. Tapi masalahnya bukan itu. Kalian juga tahu kan, kalau malam itu juga terjadi kecelakaan yang membuat Scorpion meninggal setelah koma 1 minggu? Dan kalian juga pasti pernah denger kalau Hades malam itu tidak di temukan berada di sana. Padahal semua orang tahu, dimana ada Scorpion disitu pasti juga ada Hades. Ya kan?” Ajun mengeluarkan pernyataan dan pertanyaannya dengan semangat. Jae dan Key juga masih berdiri di tempatnya. Bukannya mereka ingin mendengar semuanya omongan Ajun, namun kaki Jae seperti menghianati sang pemilik, tak bisa di gerakkan. Melihat Jae yang masih berdiri di tempatnya, membuat Ajun semakin bersemangat melancarkan aksinya.
“Gue yakin nggak banyak diantara kalian yang tahu kenapa Hades nggak ada malam itu. Gue denger dari temen gue, malam itu Hades kabur. Ia meninggalkan Scorpion, sahabatnya tergeletak tak berdaya di jalan. Ia lari begitu saja. Ia lebih memilih menyelamatkan dirinya sendiri daripada membawa Scorpion ke rumah sakit. Orang macam apaan dia? Bukannya secara tidak langsung dia yang membunuh Scorpion?” Lanjut Ajun semakin gencar. Dan bersamaan dengan itu genggaman Jae ditangan Key merenggang. Dan Jae jatuh terduduk. Airmukanya sudah berubah. Tak ada lagi tampang dinginnya. Tergantikan wajah ketakutan yang kembali muncul. Ajun yang mengetahui hal itu, segera melangkah menghampiri Jae. Ia tersenyum sinis. Semua berjalan sesuai rencananya. Dia akan memperlihatkan kepada semua orang di Airlangga bagaimana seorang Jae sebenarnya.
“Lo kenapa Jae? Lo ngrasa? Lo ngarasa sudah membunuh Scorpion, HADES?!” Ucap Ajun dengan menekankan kata Hades. Semua mata langsung tertuju pada Jae yang sudah menggigil ketakutan dan menutup telinganya. Mereka baru tahu kalau Hades selama ini berada di tengah-tengah mereka dengan nama Junior Hansa Leonardo. Melihat keadaan Jae yang semakin buruk, Key yang tadinya masih berdiri langsung terduduk di samping Jae. Dia langsung mendekap Jae. Tak dipedulikannya tatapan-tatapan sinis bahkan tatapan merendahkan karena ia dengan berani melakukan itu di depan umum.
Calm, Jae. I’m still in here. Don’t afraid okay?” Bisik Key menenangkan Jae. Perlahan nafas Jae mulai teratur.
“Sahabat macam apaan lo? Lo nyelametin diri lo sendiri, sedangkan Scorpion yang sedang diambang batas hidupnya lo tinggalin begitu saja. Lo pembunuh! Lo pembunuh Scorpion! Dan selama ini lo sembunyi. Sembunyi dibalik tampang dingin lo. Sembunyi dibalik nama ‘Leonardo’. But, see? Sekarang semua sudah tahu siapa lo. Lo pembunuh sahabat lo sendiri, Jae!” Teriak Ajun tepat di depan Jae. Memang seperti inilah yang dia inginkan. Membuat seorang Jae jatuh sejatuh-jatuhnya. Mendengar semua ucapan Ajun, Jae kembali mengingat semua kejadian 2 tahun yang lalu. Ia kembali menggigil ketakutan. Suara-suara yang menyerukan kalau dia pembunuh Ken memenuhi pendengarannya.
“Lo pembunuh, Jae! P.E.M.B.U.N.U.H!” Ajun semakin menekan setiap hurufnya. Ia belum puas.
“Gue pembunuh! Gue pembunuh, Ken! Gue pembunuh!” Kalimat-kalimat it uterus berulang keluar dari mulut Jae. Dari yang awalnya pelan, mengeras dan semakin keras. Jae benar-benar kembali depresi. Ia kembali menyalahkan dirinya. Semua tak menyangka akan melihat Jae seperti itu. Jae yang biasanya berdiri tegak, kini sedang terduduk lemah, menggigil, menjambak rambutnya bahkan airmata keluar dari mata coklatnya. Seperti bukan Jae yang paling disegani di Airlangga.
“Ya, lo pembunuh!” Ucap Ajun dengan seringainya. Ia berhasil.
“Cukup! Hentikan!” Teriak Key lebih pada Ajun. Ia tak bisa melihat Jae seperti ini. Dia benar-benar membenci laki-laki yang sedang berdiri dengan santainya. Bahkan tertawa melihat Jae yang masih terus menyalahkan dirinya. Tatapan Ajun beralih pada Key.
“Sorry, gue melupakan lo.” Kata itu sukses membuat Key memicingkan matanya.
“Lo! Keysha Aryani Jasson alias Black Angel kembaran Kenly Arlan Jasson alias Scorpion, nggak usah sok care sama dia! Cara lo udah basi. Berpura-pura baik untuk membalas dendam. Nggak ada cara lain apa?” Lagi-lagi ucapan Ajun membuat siswa Airlangga tercengang. Begitu juga Key. Darimana manusia satu itu bisa mengetahui identitasnya, Jae bahkan Ken.
“Apa? Balas dendam? Nggak usah sok tahu lo!” Bantah Key tak terima.
“Hey, come on! Nggak usah mengelak. Gue udah tahu kok. Nggak mungkin kali setelah kembaran lo meninggal, justru lo care sama pembunuhnya. Lo cuma mau balas dendam. Gue banar kan?” Jelas Ajun percaya diri. Meskipun Jae dalam kondisi depresinya, namun dia masih sangat jelas untuk mendengar bahkan mencerna apa yang dikatakan Ajun. Key hanya ingin balas dendam. Jae menatap Key tajam.
“Jae..trust me!” Ucap Key pelan. Ia mencoba kembali mendekap Jae. Namun Jae menepis lengannya. Dari sorot matanya, Key bisa tahu Jae benci padanya.
“Gue pembunuh, Ken. Lo pembohong. Key pembohong.” Ucap Jae secara berulang dengan kalimat yang sama.
“Gue nggak bohong, Jae. Jangan dengerin apa yang dikatakan dia.” Key mencoba menjelaskan. Namun Jae sudah menutup telinganya. Dia menolak mendengarkan penjelasan Key.
“JAE!” Teriak Key ketika tiba-tiba Jae bernjak dan berlari meninggalkan kerumunan itu. Key juga langsung ikut berdiri. Ia menatap Ajun sekilas yang sedang tertawa penuh kemenangan. Bahkan ia tak sempat mengeluarkan sumpah sarapahnya untuk laki-laki yang sudah berhasil membuat Jae kembali depresi. Key langsung berlari mengejar Jae. Ia tak ingin kehilangan jejak Jae.
Key terus berlari. Tak lupa ia juga teriakkan nama Jae yang berlari 1 meter di depannya. Jangankan berhenti, menolehpun Jae tak mau. Key tak menyerah. Ia terus berlari mengikuti Jae. Meskipun ia belum mengenal betul Airlangga, namun ia tahu tangga ini menuju kemana. Rooftop. Tak dipedulikannya bel masuk yang sudah berbunyi nyaring.
“J,,jae?!” Panggil Key pelan sambil mengatur kembali nafasnya. Sekarang yang dilihatnya Jae sudah berdiri diatas pagar pembatas. Jae tak menoleh. Ia masih menatap kosong ke bawah.
“Jae, turun ya?” Bujuk Key mengulurkan tangannya. Kali ini Jae menoleh. Ketakutannya masih tergambar jelas diwajah sempurnanya. Dia hanya menatap Key tanpa bicara.
“Jae, I’m still in here, beside you and stay with you. Remember?” Bujuk Key lagi. Ia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.
“Lo bohong! Lo cuma mau balas dendam, kan?” Ucap Jae dengan tatapan sendunya.
“Itu semua nggak bener. Gue nggak ada niat buat balas dendam. I’m relly care with you. Please, trust me!” Jelas Key memohon. Jae menatap Key sebentar. Ia mencoba mencari kejujuran dimata gadis itu. Dan ia menemukannya disana.
“Gue pembunuh, Ken! Gue memang seharusnya mati disini!” Ucap Jae kembali membalikan tubuhnya.
Merasa Jae sedikit lengah, Key langsung menarik Jae. Dan akhirnya mereka berdua sama-sama terjatuh ke lantai semen rooftop. Key langsung terduduk dan mendekati Jae yang jatuh tak jauh darinya. Dia langsung merengkuh tubuh besar Jae. Menenangkannya dalam dekapannya. Tak dipedulikan seragamnya yang sudah kotor. Tubuh Jae masih bergetar hebat di dalam dekapan Key.
“Shhtt..I’m still in here, Jae.” Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkan Key. Dan entah mengapa setelah mendengar kata itu, Jae berangsur tenang. Bagaikan sebuah mantra yang membius Jae.
“Gue pembunuh. Ken, pergi gara-gara gue.” Ucap Jae pelan tak luput dengan isakan kecilnya. Key merenggangkan dekapannya. Di lihatnya wajah Jae. Airmata sudah mengalir membasahi wajah tampannya. Dengan perlahan, Key mengusap airmata itu dengan ibu jarinya.
“Jangan percaya dengan semua omongan Ajun. Lo bukan pembunuh. Ken pergi bukan gara-gara lo. Just trust me, Jae.” Ucap lembut Key sambil membawa kembali Jae kedalam dekapannya. Setelah itu tak terdengar lagi suara Jae. Yang terasa hanya hembusan nafasnya yang teratur. Key melirik sebentar. Dan benar saja, Jae sudah tertidur.
Key perlahan menggeser duduknya. Setelah dirasa posisinya sudah tepat, ia lantas meletakkan kepala Jae dipangkuannya. Biarlah Jae tertidur seperti ini. Key mengamati Jae dengan seksama. Tangannya megusap wajah tampan itu dengan perlahan. Tak lupa ia menyingkirkan helaian rambut yang jatuh ke dahi Jae. Key berharap usapan lembutnya bisa menghilangkan ketakutan yang masih tergambar jelas di wajah itu meskipun sang pemilik sudah terpejam. Jujur, Key lebih suka melihat Jae dengan tampang dinginnya seperti saat mereka pertama kali bertemu. Daripada harus melihat Jae dengan wajah ketakutannya. Key tak mau lagi melihat itu. Tangan lembut Key beralih ke kening Jae. Key mengusap pelan kerutan yang tercipta disana. Dan perlahan, kerutan itu menghilang. Sekarang wajah damailah yang tergambar diwajah tampan itu. Jae sudah benar-benar tertidur.
“Seperti janji gue, Jae. I’m still in here with you.” Ucap Key pelan.
***
Bel panjang yang menandakan istirahat berbunyi nyaring. Suara itu berhasil membuat Jae mengerjapkan matanya secara perlahan. Mencoba beradaptasi dengan silau yang sudah menyambutnya. Perlahan matanya terbuka. Dan yang pertama kali dilihat adalah wajah manis milik Key yang sedang tersenyum. Sadar kalau dia tidur dipangkuan Key, Jae segera bangun dan duduk berhadapan dengan gadis itu.
Sorry. Pasti pegel ya?” Tanya Jae pelan. Mendengar pertanyaan Jae membuat Key tersenyum. Setidaknya ia tahu Jae sudah kembali membaik.
No problem.” Jawab Key santai.
“Ini udah istirahat? Jadi gue udah tidur hampir 3 jam?” Tanya Jae lagi. Key hanya mengangguk.
“Ah! Kenapa gue selalu tertidur dalam dekapan lo?” Pertanyaan itu lebih menjurus pada diri Jae sendiri. Key menggeleng pelan.
“Terlalu nyaman kali.” Ucap Key kemudian sambil tersenyum jahil. Jae mengangguk membenarkan. Ya, dekapan Key adalah tempat ternyaman Jae untuk 2 hari ini. Dan mungkin untuk waktu yang lama nantinya.
“Jae?” Panggil Key pelan.
“Hmm..” Jawab Jae.
“Turun yuk?” Ajak Key hati-hati. Key tahu kalau Jae belum siap untuk turun maupun ke kelasnya karena kejadian tadi pagi. Hening. Tak ada persetujuan atau penolakan. Yang ada Jae hanya diam menunduk.
“Gue takut.” Ucap pelan Jae akhirnya.
Why?” Seharusnya itu pertanyaan retoris. Key tahu, sangat tahu alasannya.
“Mereka sudah tahu bagaimana gue tadi pagi. Dan gue belum siap melihat tatapan-tatapan cemooh mereka.” Jelas Jae.
“Jae, look me!” Pinta Key. Jae mengangkat wajahnya dan menatap Key.
Everything gonna be alright, Jae. Kita turun. Lo harus hadapin semuanya. Lo nggak bisa lari lagi. Lo harus buktiin ke mereka kalau Jae benar-benar orang yang kuat. Jangan lo tunjukin sisi lemah lo lagi.” Ucap Key membujuk Jae.
“Tapi, Key..” Jae menggantungkan kalimatnya.
“Lo masih ingat janji gue kan? I’m still in here, beside you.” Ucap Key dengan senyumnya.
Thank’s for a lot.” Ucap Jae ikut tersenyum.
So? Kita turun ya? Balik ke kelas. Kita udah bolos 2 mata jam pelajaran.” Tanya Key sekali lagi. Dan akhirnya Jae mengangguk pelan. Meski masih ada ketakutan dalam dirinya. Tapi ia harus percaya pada Key yang akan selalu bersamanya.
Key beranjak berdiri sambil menyambar tasnya yang tergeletak tak jauh darinya. Setelah itu ia membersihkan rok abu-abunya yang sedikit kotor. Karena ia duduk tanpa alas. Setelah merasa bersih, ia ulurkan tangannya di depan wajah Jae. Tanpa menunggu perintah lagi, Jae langsung menerima uluran itu dan beranjak berdiri. Jae segera membersihkan seragamnya dan menyambar tasnya. Merekapun berjalan menuju pintu rooftop tanpa melepas genggaman ditangan mereka.
Sepanjang koridor dari tangga rooftop, Jae bisa merasakan tatapan berbeda dari siswa Airlangga. Bukan lagi tatapan terpesona seperti hari-hari sebelumnya. Sekarang tatpan itu telah berganti menjadi tatapan cemooh, tatapan merendahkan bahkan tatapan kasihan. Semua itu tertuju pada seorang Jae. Nama Jae sudah benar-benar hacur. Bagaimana tidak jika selama ini dia dikenal dengan Cold Prince, tadi pagi semua orang melihat sisi terlemahnya dan dengan cerita masa lalu yang tak pernah terbayangkan. Jae semakin mengeratkan genggamannya pada tangan kecil milik Key.
“Ow..ow..oww..Setelah tadi kabur, sekarang masih berani muncul di sini? Nggak punya malu sih.” Suara itu terdengar lagi. Siapa lagi kalau bukan suara Ajun yang menggelegar memenuhi koridor. Dan di sinilah dia berdiri sekarang. Tepat di depan Jae dan Key. Senyum kemenangannya tak luntur dari wajahnya. Jae beringsut ke belakang Key.
“Gue baru tahu kalau ternyata lo punya hobi bergosip ya? Kenapa nggak sekalian pakai rok? Apa perlu gue pinjemin rok gue?” Ucap Key dengan nada sinisnya membuat Ajun geram.
“Perlu lo tahu, semua yang gue ucapin tadi pagi itu bukan gossip. Itu fakta, Key.” Jawab Ajun sedikit meninggi.
“Oh fakta ya? Tapi sayangnya itu fakta yang salah. Kalu nggak tahu yang sebenarnya terjadi, lebih baik shut up!” Cibir Key.
“Lo kembarannya Scorpion, kenapa lo ada dipihaknya?” Tanya Ajun sambil menunjuk Jae yang masih saja menunduk.
“Karena dia sahabatnya, Ken. Orang yang berarti buat kembaran gue. So, orang yang berarti but hidup Ken juga berarti buat gue. Paham?!” Ucap Key membuat Ajun terdiam. Semua mata tertuju padanya.
“Ajun Mahardika, kakak kelas gue yang paling terkenal di Airlangga, gue saranin ya nggak usah ikut campur urusan orang, nggak usah bicara kalau lo nggak tahu sebenarnya yang terjadi bagaimana, dan nggak usah sok nyimpulin perilaku orang lain hanya menurut pendapat lo emangnya lo siapa? Peramal? Just shut up dan nikmati hidup lo aja, okey?” Ujar Key panjang lebar yang berhasil membuat Ajun benar-benar bungkam.
“Dan buat lo semua siswa Airlangga, nggak usah natap Jae seperti itu! Dia nggak sakit, dia juga nggak gila. Dia hanya sedang mencoba berdamai dengan masa lalunya. So, buang semua tatapan kalian!” Teriak Key lantang. Tak peduli jika dia masih berstatus sebagai murid baru di Airlangga. Dan mungkin sebentar lagi namanya akan banyak di sebut. Dan spontan, semua pasang mata mengalihkan pandangannya dari mereka bertiga.
“Ah, kenapa mood sekolah gue hari ini tiba-tiba hilang ya? Mungkin gue butuh sedikit udara segar. Yuk Jae, kita pergi aja. Bolos sehari saja nggak masalah kan?” Ajak Key hanya dijawab anggukan Jae. Akhirnya Key menarik tangan Jae meninggalkan koridor, meninggalkan Ajun yang masih berdiri di sana. Mereka melangkah bukan ke kelas, melainkan ke parkiran.
***
“Hai, Ken? How are today? Sorry, gue udah lama nggak ngunjungin lo. Lo bahagiakan di sana?” Sapa Key sudah dengan suara lembutnya di depan sebuah gundukan tanah yang sudah tertutup rumput hijau dengan rapi. Makam Ken. Key melirik ke orang yang duduk di sebelahnya. Dia hanya diam. Pandangannya lurus tertuju pada nisan yang tercetak nama ‘Kenly Arlan Jasson’.
“Ken, gue udah nglakuin permintaan lo. Dan sekarang gue bawa dia ke hadapan lo. Kurang baik apa coba gue? Tapi, lo masih tega ninggalin gue.” Ucap Key miris. Dia mengusap airmatanya kasar. Ia tak ingin menangis di depan Ken. Ia kembali menoleh pada Jae. Kemudian menyenggol lengan lelaki itu pelan sampai sang punya lengan menoleh.
“Lo nggak berniat nyapa sahabat lo?” Tanya Key. Jae tak menjawab. Ia kembali menolehkan pandangannya ke nisan di depannya.
Hai, My Bro? Are you happy? I wish that. I miss you so bad, Ken. And…sorry for all.” Ucap Jae pelan kemudian menunduk.
“Ken, kita pergi dulu ya? Gue janji akan sering jengukin lo. Love you, Ken.” Pamit Key beranjak berdiri. Ia juga menarik Jae untuk berdiri. Ia tak ingin Jae kembali sedih.
“Pulang?” Tanya Jae saat mereka berdua sudah sampai di dekat motor hitam Jae.
“Males pulang.” Jawab Key singkat.
“Ya udah mau kemana?” Tanya Jae lagi. Sebenarnya ia juga malas pulang.
“Kita jalan-jalan saja bagaimana? Keliling Jakarta.” Usul Key semangat.
“Ok!” Setuju Jae sambil mengacak rambut Key. Jae langsung memasang helmnya sebelum Key membalas mengacak rambutnya.
Jae segera naik ke motor sport-nya dan diikuti Key yang duduk dibelakanya. Ia kembali teringat saat menjemput paksa Key dari café depan Airlangga. Dengan posisi yang sama. Bedanya sekarang, tangan Key sudah melingkar manis diperutnya. Jae tersenyum ingin menggoda Key. Ia memiringkan sedikit kepalanya untuk menoleh pada Key di belakangnya.
“Lo masih, Black Angel?” Tanya Jae jahil. Key langsung paham kemana arah pembicaraan mereka. Dia langsung menepuk bahu Jae lumayan keras.
“Ya jelaslah, gue masih Black Angel. Apa lo mau tanding lawan gue lagi, Hades?” Balas Key dengan kekehannya.
“Emh..bisa dipertimbangkan nanti.” Jawab Jae kembali memutar tubuhnya menghadap depan.
Tanpa pembicaraan lagi, Jae segera menghidupkan mesin motornya dan melajukannya dengan sedikit kecepatan. Ia masih merasakan sepasang tangan yang melingkar di perutnya. Dan sekarang ia juga merasakan kepala yang bersender pada punggung tegapnya. Itu berhasil membuat Jae tersenyum bahagia.
Jae bahagia dan sakit secara bersamaan. Ketika kenyataan memberitahukan kepergian Ken, di saat yang sama Tuhan mendatangkan Key. Jae selalu menjadi Jae yang lemah di depan Key. Tapi dengan semua kata lembutnya dan dekapan hangatnya mampu membuat Jae kembali tenang. Key tak meninggalkannya meskipun ia sudah menjadi seperti orang gila dengan semua ketakutannya. Bahkan dengan tenang dia mengucapkan sebuah kalimat yang sangat menenangkan, sama sepert kalimat terakhir Ken. ‘I’m still in here’. Kalimat sakti yang selalu terucap setiap Jae berada di titik terlemahnya. Dan janji Key yang akan selalu Jae ingat. ‘Yes, our. I’m still in here, beside you, and stay with you. I’m promise’. Semua itu yang membuat hatinya bahagia di saat pikirannya sakit. Jae tak ingin kabur lagi. Ia ingin menghadapi semuanya bersama Key.
Thank you, for being us.” Ucap pelan Jae pada Key. Meski ia tahu Key tak mendengarnya. Namun dirasakan Jae anggukan pelan di punggungnya. Dan Jae hanya bisa tersenyum bahagia.


##FEBRIAZ##



Tidak ada komentar:

Posting Komentar