ISTIRAHAT, DEK.
“Setelah semua sakit hati dan tekanan
dari dunia luar, keluarga adalah sebaik-baik tempat pulang. Tidak ada
penghakiman, yang ada justru pemakluman.”
***
Dimas
Je, laporannya Bu Dewi udah kelar belum?
Rena
Makalahnya Pak Kumis kalau udah kelar
langsung email ya, entar biar bisa gue cek dulu.
Pak
Pandu Dosbing
Bab 1 perlu kamu tambahin deskripsi
masalahnya lagi sama referensi yang mendukung kenapa kamu perlu ambil
penelitian itu. Minggu depan konsultasikan lagi.
Pak
Ketum Nera
Jangan lupa besok ketemu lagi sama
orang-orang dekanat, acara kita udah deket. Dan bawa proposal terbaru.
Pengurus
Aseek 2019
Zahra
Sekum: Diberitahukan untuk semua pengurus, hari Senin jangan
lupa rapat kepanitiaan pukul 15.30 di sekretariat.
Rentetan chat yang belum ada satupun yang gue
balas. Karena gue lagi males ngerespon, sampai gue memang gak punya jawaban
buat ngebales. Gue hanya memandangi layar ponsel yang menampilkan aplikasi chat yang memang udah kebuka dari
beberapa menit yang lalu. Mungkin sampai saat ini, hanya centang dua abu-abu
yang tampil dichat pengirim, karena
gue belum ada niat untuk membuka chat-chat
tersebut. Apalagi menjawabnya.
Sumpah, gue capek banget.
Pernah gak sih kalian
ngerasa capek padahal kalian gak ngelakuin hal-hal yang berat? Yang kalian
rasain cuma sumpek, pengen istirahat, cepet emosian padahal kalian gak tau
sebabnya apa. Ketika kalian ngerasain itu, semuanya jadi kacau, gak fokus,
semua yang udah dilakuin serasa salah, dan puncaknya selalu ada pikiran “Ah,
pengen berhenti aja rasanya”. Dan ya, gue sedang berada di posisi itu saat ini.
Menjadi mahasiswa tingkat
ketiga dan memilih masih tetap bertahan sebagai ‘budak proker’, seharusnya gue
udah paham segala konsekuensinya. Dua tahun di organisasi yang sama seharusnya
bisa ngasih gue gambaran kalau apa yang akan gue hadepin ke depannya gak
semakin mudah. Tapi sayangnya gue gak memperhitungkan itu semua. Gue lanjut
sampai tahun ketiga di organisasi karena gue mau menyelesaikan tanggung jawab
gue, meskipun gue sadar tanggungan gue sebagai mahasiswa akan semakin banyak.
Awalnya gue yakin, gue bisa menyelesaikan semua dengan seimbang, tapi nyatanya
gue kewalahan.
Seperti
saat ini, gue hanya duduk di depan laptop di kamar 4x6 meter yang sudah gue
tempatin tiga tahun ini tanpa melakukan apa-apa. Padahal dari chat yang entah kenapa muncul bebarengan
itu, banyak tugas yang harus gue kerjakan. Tapi saking banyakanya deadline, gue sampai pusing mau ngerjain
yang mana dulu.
Gue
inget banget gimana ekspresinya Rena saat gue bilang gue belum nyelesain bagian
gue di makalah kelompok. Bahkan dia udah ngencem bakal neror gue kalau gue gak
segera menyelesaikan bagian gue, karena dia bukan tipe mahasiswa deadliner seperti gue. Gue juga masih
inget gimana kurang puasnya Pak Pandu dosbing gue ketika baca bab 1 proposal
skripsi yang gue ajukan tadi pagi. Atau gue juga gak bakal lupa gimana kejadian
di ruang sekretariat saat rapat mingguan para petinggi organisasi—kalau kata adik
tingkat gue di organisasi—kemarin sore. Gue bahkan sempet adu argumen sama Nera
gara-gara belum ada progres yang memuaskan buat acara bulan depan. Gue capek,
gue pusing, tapi deadline gak mau tau
masalah itu.
Ketika
gue masih belum ada niat untuk menyentuh salah satu tugas gue, sebuah
notifikasi chat baru menarik
perhatian gue. Chat dari seseorang
yang mengingatkan gue pada satu hal yang mungkin gue butuhkan saat ini.
Kak
Juniarda
Dek, besok pulang kan?
Udah hampir satu bulan kamu gak pulang.
Harus pulang pokoknya. Kabarin kakak aja.
Pulang.
Setelah baca rentetan chat dari kakak
gue, Kak Juniarda atau gue biasa memanggilnya Kak Juni, gue baru inget besok
sudah hari Jumat. Saking banyaknya tugas dan sibuknya gue sebagai budak proker,
gue bahkan lupa hari. Dan ternyata kegiatan gue sebagai mahasiswa sok sibuk
membuat gue hampir satu bulan belum menginjakkan kaki di rumah. Mungkin memang
pulang yang gue butuhkan, istirahat sebentar sebelum gue benar-benar menjadi
orang gila.
Setelah
kelas terakhir dan semua urusan gue di kampus kelar, gue langsung menuju
stasiun. Gue akhirnya memutuskan untuk pulang minggu ini, tanpa membawa laptop
ataupun tugas gue. Gue gak mau istirahat gue di rumah terganggu. Karena gue
pulang ingin mengistirahatkan sebentar pikiran gue dari semua tuntutan gue di
kampus. Dan gue berharap setelah pulang nanti, gue bisa sedikit waras lagi.
‘Kak,
aku udah perjalanan pulang ini. Nanti tunggu aja di stasiun.’ Tulis gue di
bawah chat dari Kak Juni yang belum
gue bales dari kemarin.
Ponsel
segera gue simpan. Gue mencoba menikmati perjalanan, agar gue bisa sedikit
tenang. Atau gue berharap justru bisa ketiduran, supaya ketika bangun nanti gue
udah sampai di kota kelahiran.
“Jeanna?!”
Sebuah suara langsung terdengar ketika gue baru saja melangkah keluar dari
stasiun. Seorang cowok dengan kaos hitam polos dan celana jeans sudah
melambaikan tangan dengan semangatnya. Dia kakak kebanggan gue, Kak Juni.
Segera gue melangkah menghampirinya.
“Udah
nunggu lama ya, Kak?” Tanya gue ketika sudah sampai di dekatnya.
“Belum
kok.” Jawabnya sambil mengusak pelan rambut gue. Melihat Kak Juni di depan gue,
artinya gue udah beneran pulang.
“Mau
langsung pulang atau makan dulu?” Tanyanya karena sekarang udah memasuki jam
makan malam.
“Makan
dulu. Laper.” Jawab gue sambil memegangi perut karena gue baru inget gak sempet
makan sebelum pulang tadi.
“Sate
Pak Mamat kan?” Gue langsung mengangguk setuju ketika Kak Juni menyebut tempat
makan favorit gue tiap pulang. Selain bertemu Kak Juni, makan sate di tempatnya
Pak Mamat juga menandakan gue udah bener-bener pulang.
“Gimana
kuliah?” Pertanyaan pertama Kak Juni sambil menunggu pesanan kita dibuatkan.
Dia pesen sate yang level pedes banget, sedangkan gue cukup bawang merah aja
tanpa cabai.
“Hhh.”
Gue hanya mendengus. Malas menjawab pertanyaan dari Kak Juni. Ya, karena gue
pengen menepi sebentar dari semua bahasan tentang kuliah ataupun kampus.
“Kenapa? Semuanya
baik-baik aja kan, Dek?” Mungkin pertanyaan itu terdengar biasa dari seorang
kakak ke adiknya. Tapi sebuah pertanyaan tetep menimbulkan efek sendiri. Gue
gak langsung menjawab pertanyaan Kak Juni. Gue hanya diam, mempertimbangkan
apakah gue harus menceritakan semuanya apa nggak.
“Sini cerita aja, Kakak
dengerin. Mungkin Kakak gak bisa bantu banyak, tapi Kakak siap dengerin semua
cerita kamu. Biar kamu lega. Jangan dipendem sendiri, Dek.” Warung sate Pak
Mamat yang malam ini gak begitu ramai, ngebuat gue bisa jelas mendengar ada
nada khawatir dari suara Kak Juni. Sebenarnya, gue dan Kak Juni bukan tipe
saudara yang selalu curhat atau berbagi keluh kesah dengan mudah. Kita selalu
dengan urusan kita masing-masing. Tapi entah kenapa Kak Juni selalu tau gimana
kondisi gue. Seperti malam ini atau mungkin sejak kemarin malam, dia tahu apa
yang sedang gue butuhkan.
“Aku nggak papa, Kak.
Cuma lagi capek aja.” Ucap gue akhirnya. Gak ada respon dari Kak Juni, tapi gue
tahu dia mendengarkan. Gue menarik napas panjang sebelum melanjutkan bercerita.
“Sebenernya kegiatan di kampus masih sama aja, kuliah dan organisasi. Tapi gak
tahu kenapa akhir-akhir ini semua kayak rasanya penuh, kayak semuanya nyerang
aku barengan. Aku tahu ini udah jadi resiko buat aku dan wajar aja, tapi aku
gak nyangka bakal secapek ini. Tahun-tahun sebelumnya aku juga kuliah dan
organisasi, tugas dan proker sama aja banyaknya, tapi kok rasanya beda.
Sekarang kayak yang aku rasain cuma capek, sumpek, dan kayak berat gitu. Dan
rasanya tiba-tiba semua jadi berantakan.” Cerita gue mengeluarkan semua apa
yang gue rasain akhir-akhir ini. Gue mengusap wajah gue kasar. Rasanya gue
pengen nangis, tapi gak bisa. Gue hanya menunduk.
“Istirahat, Dek.” Hanya
kalimat itu yang gue dengar dari Kak Juni, bersamaan dengan usapan pelan yang
gue rasakan di bahu. “Istirahat. Bukan cuma tubuh kamu yang butuh istirahat,
tapi pikiran kamu juga. Capek itu pasti, tapi istirahat sebentar atau berhenti
selamanya itu pilihan. Kakak yakin kamu udah bisa mutusin bakal ambil langkah
yang mana. Kamu bisa bertahan sampai saat ini sudah hebat. Percaya Dek, semua
capekmu sekarang bakal ada hasilnya nanti.” Ujar Kak Juni tanpa menghakimi.
Gue mendongak pelan, melihat
kakak gue satu-satunya tersenyum memaklumi. “Makasih, Kak. Maafin Jeanna yang
gampang ngeluh.” Ucap gue mencoba tersenyum.
“Ngeluh itu manusiawi.
Gak papa sekali-kali. Trus, tadi kamu itu cerita bukan ngeluh. Justru Kakak
seneng kamu mau cerita biar Kakak tahu gimana kamu sekarang. Kakak gak mau gak
tahu apa-apa tentang kamu. Bukan hanya Kakak, tapi Ibu sama Ayah juga gitu,
kita gak mau kamu kenapa-napa. Inget, Dek, kalau kamu capek, kamu masih punya
tempat buat istirahat dan rumah buat kamu pulang kapan aja.” Ucapnya masih
dengan tersenyum. Gue hanya mengangguk paham.
“Ya udah sekarang makan
gih. Ibu sama Ayah udah nunggu di rumah.” Sampai gak sadar, kita sama sekali
belum menyentuh sate yang entah kapan sudah tersaji di meja. Kita berdua
menyantap makan malam yang kadang diselingi obrolan random.
Rasanya sedikit lebih
ringan. Mungkin karena gue sudah membaginya dengan Kak Juni. Memang benar,
kadang yang dibutuhkan hanya bercerita untuk mengurangi sedikit beban. Entah
orang yang diajak cerita bisa ngasih jalan keluar apa tidak, yang penting tidak
dipendam sendiri. Dan satu hal lagi yang gue sadar, setelah semua sakit hati
dan tekanan dari dunia luar, keluarga adalah sebaik-baik tempat pulang. Tidak
ada penghakiman, yang ada justru pemakluman.
--Triana Febri--

Tidak ada komentar:
Posting Komentar