Jumat, 20 September 2019

[CERPEN] ISTIRAHAT, DEK.


ISTIRAHAT, DEK.

 

“Setelah semua sakit hati dan tekanan dari dunia luar, keluarga adalah sebaik-baik tempat pulang. Tidak ada penghakiman, yang ada justru pemakluman.”
***

Dimas
Je, laporannya Bu Dewi udah kelar belum?
Rena
Makalahnya Pak Kumis kalau udah kelar langsung email ya, entar biar bisa gue cek dulu.
Pak Pandu Dosbing
Bab 1 perlu kamu tambahin deskripsi masalahnya lagi sama referensi yang mendukung kenapa kamu perlu ambil penelitian itu. Minggu depan konsultasikan lagi.
Pak Ketum Nera
Jangan lupa besok ketemu lagi sama orang-orang dekanat, acara kita udah deket. Dan bawa proposal terbaru.
Pengurus Aseek 2019
Zahra Sekum: Diberitahukan untuk semua pengurus, hari Senin jangan lupa rapat kepanitiaan pukul 15.30 di sekretariat.

Rentetan chat yang belum ada satupun yang gue balas. Karena gue lagi males ngerespon, sampai gue memang gak punya jawaban buat ngebales. Gue hanya memandangi layar ponsel yang menampilkan aplikasi chat yang memang udah kebuka dari beberapa menit yang lalu. Mungkin sampai saat ini, hanya centang dua abu-abu yang tampil dichat pengirim, karena gue belum ada niat untuk membuka chat-chat tersebut. Apalagi menjawabnya.
Sumpah, gue capek banget.
Pernah gak sih kalian ngerasa capek padahal kalian gak ngelakuin hal-hal yang berat? Yang kalian rasain cuma sumpek, pengen istirahat, cepet emosian padahal kalian gak tau sebabnya apa. Ketika kalian ngerasain itu, semuanya jadi kacau, gak fokus, semua yang udah dilakuin serasa salah, dan puncaknya selalu ada pikiran “Ah, pengen berhenti aja rasanya”. Dan ya, gue sedang berada di posisi itu saat ini.
Menjadi mahasiswa tingkat ketiga dan memilih masih tetap bertahan sebagai ‘budak proker’, seharusnya gue udah paham segala konsekuensinya. Dua tahun di organisasi yang sama seharusnya bisa ngasih gue gambaran kalau apa yang akan gue hadepin ke depannya gak semakin mudah. Tapi sayangnya gue gak memperhitungkan itu semua. Gue lanjut sampai tahun ketiga di organisasi karena gue mau menyelesaikan tanggung jawab gue, meskipun gue sadar tanggungan gue sebagai mahasiswa akan semakin banyak. Awalnya gue yakin, gue bisa menyelesaikan semua dengan seimbang, tapi nyatanya gue kewalahan.
            Seperti saat ini, gue hanya duduk di depan laptop di kamar 4x6 meter yang sudah gue tempatin tiga tahun ini tanpa melakukan apa-apa. Padahal dari chat yang entah kenapa muncul bebarengan itu, banyak tugas yang harus gue kerjakan. Tapi saking banyakanya deadline, gue sampai pusing mau ngerjain yang mana dulu.
            Gue inget banget gimana ekspresinya Rena saat gue bilang gue belum nyelesain bagian gue di makalah kelompok. Bahkan dia udah ngencem bakal neror gue kalau gue gak segera menyelesaikan bagian gue, karena dia bukan tipe mahasiswa deadliner seperti gue. Gue juga masih inget gimana kurang puasnya Pak Pandu dosbing gue ketika baca bab 1 proposal skripsi yang gue ajukan tadi pagi. Atau gue juga gak bakal lupa gimana kejadian di ruang sekretariat saat rapat mingguan para petinggi organisasi—kalau kata adik tingkat gue di organisasi—kemarin sore. Gue bahkan sempet adu argumen sama Nera gara-gara belum ada progres yang memuaskan buat acara bulan depan. Gue capek, gue pusing, tapi deadline gak mau tau masalah itu.
            Ketika gue masih belum ada niat untuk menyentuh salah satu tugas gue, sebuah notifikasi chat baru menarik perhatian gue. Chat dari seseorang yang mengingatkan gue pada satu hal yang mungkin gue butuhkan saat ini.

Kak Juniarda
Dek, besok pulang kan?
Udah hampir satu bulan kamu gak pulang.
Harus pulang pokoknya. Kabarin kakak aja.

            Pulang. Setelah baca rentetan chat dari kakak gue, Kak Juniarda atau gue biasa memanggilnya Kak Juni, gue baru inget besok sudah hari Jumat. Saking banyaknya tugas dan sibuknya gue sebagai budak proker, gue bahkan lupa hari. Dan ternyata kegiatan gue sebagai mahasiswa sok sibuk membuat gue hampir satu bulan belum menginjakkan kaki di rumah. Mungkin memang pulang yang gue butuhkan, istirahat sebentar sebelum gue benar-benar menjadi orang gila.
            Setelah kelas terakhir dan semua urusan gue di kampus kelar, gue langsung menuju stasiun. Gue akhirnya memutuskan untuk pulang minggu ini, tanpa membawa laptop ataupun tugas gue. Gue gak mau istirahat gue di rumah terganggu. Karena gue pulang ingin mengistirahatkan sebentar pikiran gue dari semua tuntutan gue di kampus. Dan gue berharap setelah pulang nanti, gue bisa sedikit waras lagi.
            ‘Kak, aku udah perjalanan pulang ini. Nanti tunggu aja di stasiun.’ Tulis gue di bawah chat dari Kak Juni yang belum gue bales dari kemarin.
            Ponsel segera gue simpan. Gue mencoba menikmati perjalanan, agar gue bisa sedikit tenang. Atau gue berharap justru bisa ketiduran, supaya ketika bangun nanti gue udah sampai di kota kelahiran.
            “Jeanna?!” Sebuah suara langsung terdengar ketika gue baru saja melangkah keluar dari stasiun. Seorang cowok dengan kaos hitam polos dan celana jeans sudah melambaikan tangan dengan semangatnya. Dia kakak kebanggan gue, Kak Juni. Segera gue melangkah menghampirinya.
            “Udah nunggu lama ya, Kak?” Tanya gue ketika sudah sampai di dekatnya.
            “Belum kok.” Jawabnya sambil mengusak pelan rambut gue. Melihat Kak Juni di depan gue, artinya gue udah beneran pulang.
            “Mau langsung pulang atau makan dulu?” Tanyanya karena sekarang udah memasuki jam makan malam.
            “Makan dulu. Laper.” Jawab gue sambil memegangi perut karena gue baru inget gak sempet makan sebelum pulang tadi.
            “Sate Pak Mamat kan?” Gue langsung mengangguk setuju ketika Kak Juni menyebut tempat makan favorit gue tiap pulang. Selain bertemu Kak Juni, makan sate di tempatnya Pak Mamat juga menandakan gue udah bener-bener pulang.
            “Gimana kuliah?” Pertanyaan pertama Kak Juni sambil menunggu pesanan kita dibuatkan. Dia pesen sate yang level pedes banget, sedangkan gue cukup bawang merah aja tanpa cabai.
            “Hhh.” Gue hanya mendengus. Malas menjawab pertanyaan dari Kak Juni. Ya, karena gue pengen menepi sebentar dari semua bahasan tentang kuliah ataupun kampus.
“Kenapa? Semuanya baik-baik aja kan, Dek?” Mungkin pertanyaan itu terdengar biasa dari seorang kakak ke adiknya. Tapi sebuah pertanyaan tetep menimbulkan efek sendiri. Gue gak langsung menjawab pertanyaan Kak Juni. Gue hanya diam, mempertimbangkan apakah gue harus menceritakan semuanya apa nggak.
“Sini cerita aja, Kakak dengerin. Mungkin Kakak gak bisa bantu banyak, tapi Kakak siap dengerin semua cerita kamu. Biar kamu lega. Jangan dipendem sendiri, Dek.” Warung sate Pak Mamat yang malam ini gak begitu ramai, ngebuat gue bisa jelas mendengar ada nada khawatir dari suara Kak Juni. Sebenarnya, gue dan Kak Juni bukan tipe saudara yang selalu curhat atau berbagi keluh kesah dengan mudah. Kita selalu dengan urusan kita masing-masing. Tapi entah kenapa Kak Juni selalu tau gimana kondisi gue. Seperti malam ini atau mungkin sejak kemarin malam, dia tahu apa yang sedang gue butuhkan.
“Aku nggak papa, Kak. Cuma lagi capek aja.” Ucap gue akhirnya. Gak ada respon dari Kak Juni, tapi gue tahu dia mendengarkan. Gue menarik napas panjang sebelum melanjutkan bercerita. “Sebenernya kegiatan di kampus masih sama aja, kuliah dan organisasi. Tapi gak tahu kenapa akhir-akhir ini semua kayak rasanya penuh, kayak semuanya nyerang aku barengan. Aku tahu ini udah jadi resiko buat aku dan wajar aja, tapi aku gak nyangka bakal secapek ini. Tahun-tahun sebelumnya aku juga kuliah dan organisasi, tugas dan proker sama aja banyaknya, tapi kok rasanya beda. Sekarang kayak yang aku rasain cuma capek, sumpek, dan kayak berat gitu. Dan rasanya tiba-tiba semua jadi berantakan.” Cerita gue mengeluarkan semua apa yang gue rasain akhir-akhir ini. Gue mengusap wajah gue kasar. Rasanya gue pengen nangis, tapi gak bisa. Gue hanya menunduk.
“Istirahat, Dek.” Hanya kalimat itu yang gue dengar dari Kak Juni, bersamaan dengan usapan pelan yang gue rasakan di bahu. “Istirahat. Bukan cuma tubuh kamu yang butuh istirahat, tapi pikiran kamu juga. Capek itu pasti, tapi istirahat sebentar atau berhenti selamanya itu pilihan. Kakak yakin kamu udah bisa mutusin bakal ambil langkah yang mana. Kamu bisa bertahan sampai saat ini sudah hebat. Percaya Dek, semua capekmu sekarang bakal ada hasilnya nanti.” Ujar Kak Juni tanpa menghakimi.
Gue mendongak pelan, melihat kakak gue satu-satunya tersenyum memaklumi. “Makasih, Kak. Maafin Jeanna yang gampang ngeluh.” Ucap gue mencoba tersenyum.
“Ngeluh itu manusiawi. Gak papa sekali-kali. Trus, tadi kamu itu cerita bukan ngeluh. Justru Kakak seneng kamu mau cerita biar Kakak tahu gimana kamu sekarang. Kakak gak mau gak tahu apa-apa tentang kamu. Bukan hanya Kakak, tapi Ibu sama Ayah juga gitu, kita gak mau kamu kenapa-napa. Inget, Dek, kalau kamu capek, kamu masih punya tempat buat istirahat dan rumah buat kamu pulang kapan aja.” Ucapnya masih dengan tersenyum. Gue hanya mengangguk paham.
“Ya udah sekarang makan gih. Ibu sama Ayah udah nunggu di rumah.” Sampai gak sadar, kita sama sekali belum menyentuh sate yang entah kapan sudah tersaji di meja. Kita berdua menyantap makan malam yang kadang diselingi obrolan random.
Rasanya sedikit lebih ringan. Mungkin karena gue sudah membaginya dengan Kak Juni. Memang benar, kadang yang dibutuhkan hanya bercerita untuk mengurangi sedikit beban. Entah orang yang diajak cerita bisa ngasih jalan keluar apa tidak, yang penting tidak dipendam sendiri. Dan satu hal lagi yang gue sadar, setelah semua sakit hati dan tekanan dari dunia luar, keluarga adalah sebaik-baik tempat pulang. Tidak ada penghakiman, yang ada justru pemakluman.
--Triana Febri--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar